Prolog

23 4 0
                                    

"Lucu juga ya kalau dipikir."

Pernyataan menggantung yang dilontarkan oleh lelaki yang kini tengah berbaring di pahaku sembari menghisap batang nikotinnya itu sukses menghentikan salah satu kegiatan favoritku; mengusap halus rambutnya.

"Hah?" aku mengerutkan kedua alisku dan menuntut dia untuk menyelesaikan kalimatnya.

Bukannya menjawab, dia malah bangkit dari posisi semula, untuk kemudian membawa wajahnya tepat beberapa senti di depan wajahku. Dengan mata yang tiada henti melirik ke bawah sana. Iya.. ke arah.. bibirku.

He is not gonna do that... at this moment... right...? I mean.. kissing me..

"Apa sih? Kenapa ngeliatinnya gitu?"

Sial. Aku sudah berusaha agar suara yang ku keluarkan ini terdengar lantang dan berani, namun aku malah berakhir terdengar seperti seorang tikus yang berhasil dipojokan oleh kucing. Eh, bener gak sih? Tikus lawannya kucing, kan? Duh pokoknya anggap aja analogiku benar, okay?

"Apanya yang apa, hm?"

Sialan. Brengsek. Biadab. Emang gak punya hati nurani si brengsek ini.

Bisa-bisanya?? Dia??? Melakukan itu??? Berbicara dengan nada rendahnya (yang terdengar super seksi) dengan mata yang menatap dalam ke arahku?? Dude are you tryna drive me insane or what.

"Sayang, jawab. Apanya yang apa?" karena merasa tidak mendapat jawaban yang dia inginkan, dia kembali melontarkan pertanyaan yang sama. Tapi dengan nada yang terdengar jauh lebih berbahaya dan dengan posisi yang kini bahkan lebih berbahaya; wajahnya kini hanya tersisa kurang dari 10 cm dari wajahku!!! Aku harus bagimana!!!!

Few minutes have passed yet he was still on his position.

Baiklah, Nicholas. Aku kalah.

"Kamunya mundur dulu bisa gak ih." jawabku dengan pandangan mata yang diarahkan kemana saja asal jangan ke arah wajahnya. Soalnya... malu sih ngakunya, but I have never had this wild desire to kiss someone's lips before.

"Kok salting? Liat sini dulu, liat ke aku. Emangnya dikira mau apa sih? Mau dicium? Gitu?" jawabnya dengan suara yang super duper menyebalkan. Si brengsek ini benar-benar bermain dengan harga diriku. Siaaaaal.

"Ngg-" belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, aku sudah keburu terbatuk-batuk.

Iya, si brengsek itu menghembuskan kepulan asap rokoknya tepat ketika aku memalingkan wajahku untuk menatapknya. Biadab, bukan? Kalau bukan pacar udah gue pites dah tu orang.

"HAHAHAHAHAHAHAHA. Jelek banget cuy muka lo. Udah kayak bebek panggang."

Aku menatapnya sinis kemudian mendorongnya kencang, berusaha menyingkirkannya dan jarak haram ini.

Mematikan batang nikotinnya dan menyimpannya di atas meja, dia menyahutiku masih dengan sisa-siwa tawa yang terdengar. "Laaaah kok akunya didorong? Kita kan mau tukeran ludah, yang???"

"Anjir. Ampun, euy. Bercanda. Lagian kamu tadi gemesiiiin banget mukanya minta dijailin. Tapi serius, kamu kira aku bakal cium kamu apa gimana deh?"

Ah tau lah. Males banget aku nanggepin dia. Hidupnya tuh 90 persen bercanda, 8 persen serius, 2 persen sisanya aku.

Berniat beranjak dari sofa untuk mengambil segelas kopi dan menetralkan emosi jiwa yang memuncak akibat ulah si brengsek itu, niatku tertahan ketika dia malah menarikku dan membuatku jatuh duduk di pangkuannya.

"Apa lagi. Belum puas jailin akunya?" sahutku malas.

But he then circling his arms around my waist while putting his head on the crook of my neck.

"I was kidding, babe."

"Hmmm. I know."

"I was just going to say that it was too funny. Our story was. It was funny how a cup of coffee brought us to this relationship. It was funny how I ended up dating a girl who shares the same thoughts, shares the same likings, share the same personality, even."

"Soalnya kalau kata orang tuh ya, yang.."

He stopped for a second, only to plant a soft kiss on my neck.

"Kutub yang sama nggak akan bisa tarik-menarik. But we proved it wrong. We could make it, a year and four months." he stopped again, not to plant another kiss. But to lick my ear seductively.

"Nicho..." aku berusaha menahan suara menjijikan yang ingin dikeluarkan mulutku ini.

"Ngomongnya gak usah sambil gitu kek." lanjutku dengan tetap berusaha terdengar santai when in fact, I felt like exploding. The combination between his deep voice and how he licked my ears in the most seductive way ever tasted like heavenㅡand I wanted more.

"Sst, baby. Do not cut me off." titahnya.

"Happy another monthsarry, ducky. Thank you for never get tired of handling this stubborn-headed, annoying, and never serious boy. Thank you for choosing to stay when I am sure you have plenty reasons to leave me. Thank you for never being tired to support me and handing me a help when I need it. Thank you for those kisses you gave me. Those were sweet. And I want more. Boleh, yang?" untaian kalimat manisnya (do exclude those two last sentences please) diakhiri dengan kekehan kecil. Yang terdengar sangat menyebalkan.

I was so close to burst out in tears but Nicholas was being Nicholas.

Emang setan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Cup of Coffee.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang