Garis Kuning, Itu...

9 1 0
                                    

"Bunda kemana?"dia berjalan menghampiri Miqdad. Anak itu sedang mengerjakan tugas sekolah di teras rumah.

"Pergi, gak tahu kemana"jawab Miqdad, "Eh, Bang Fahri, sini.. Miqdad mau minta diajarin"seru Miqdad kala melihat Fahri berjalan di belakang Radita.

Cowok itu tersenyum lebar lalu duduk di hadapan Miqdad, "Masya Allah.. rajin banget kamu ngerjain pe-er jam segini. Minta diajarin apa?"

Radita mencebik kesal. Ia mengamati Naira yang keluar dari pekarangan rumah menggunakan sepeda motor. Setelah menjemput Radita dan Fahri menggunakan mobil, gadis itu segera pamit kembali ke kos nya.

"Kak Safa juga pergi?"tanya Radita lagi di ambang pintu. Miqdad mengangguk tanpa menoleh, "Katanya mau nginep di kosan Kak Naira"

Mendengar hal tersebut Radita menghentikan langkah, bukan karena kalimat itu menyatakan bahwa hanya dirinya gadis di rumah itu, melainkan perasaan aneh yang menggerogoti hati. Mereka seolah menghindari sesuatu yang tidak ia ketahui.

Pertama, sang Ayah yang sampai saat ini tak kunjung diketahui keberadaannya.

Kedua, Bunda yang tiba-tiba pergi sewaktu mereka tidak ada di rumah.

Ketiga, Safa yang memilih tinggal bersama Naira di kos, yang notabene Naira lebih sering tinggal dirumah daripada menginap di kos semenjak tamat kuliah.

Malam hari terasa sepi bagi Radita. Yang dilakukan sejak setengah jam yang lalu hanyalah berguling-guling diatas kasur. Sesekali mengecek notifikasi di ponsel. Hanya roomchat grup yang tak padam. Selebihnya tak ada pesan khusus untuk dirinya. Radita merutuki dirinya yang terlalu malas untuk berinisiatif menanyakan orang-orang yang akhir-akhir ini aneh menurutnya.

"Ayah.."Radita tersenyum melihat nomor kontak sang Ayah, jempolnya segera menekan simbol telepon. Tak berlangsung lama senyumnya luntur. Panggilannya tidak diangkat. Bahkan tidak ada tanda-tanda tersambung ke telepon Ayahnya.

"Kok gak diangkat.."gumamnya. Mencoba sekali lagi. Namun hasilnya tetap sama, "Ayah sibuk ya?"

Perasaan aneh mulai merasuki detak jantungnya. Entah itu kecewa, sedih, takut, semuanya bercampur hingga sulit didefinisikan. Radita mengulang-ulang istighfar dalam hati sembari mencoba menghubungi nomor yang sama. Nihil. Bahkan tak ada dering telepon sebagai tanda telepon itu diterima. Dugaan buruk merasuki pikirannya kala mengingat wajah dua bapak-bapak yang mendatangi rumahnya.

Gelengan kuat pertanda bahwa dia harus tau sesuatu. Dicarinya kontak sang Bunda. Melakukan hal yang sama berkali-kali, dan yang membuatnya terkejut adalah suara operator yang mengatakan nomor itu salah. Kesimpulan lain, Bundanya ganti nomor.

Sekuat tenaga ia menahan air mata agar tidak terjatuh. Jauh dari orang tua yang bahkan tidak ia ketahui tujuannya hanya menyisakan rasa sesak, "Bunda ke mana.."pertahanannya runtuh. Dia menenggelamkan wajahnya di bantal. Membiarkan benda itu basah karena air mata yang semakin deras.

Drrt.. Drrt..

Radita mengusap kedua pipi yang basah. Dia menggeser panel hijau dilayar ponsel. Ragu saat mendekatkan benda itu ke telinga kiri. Tak ada suara. Dia menunggu cukup lama dan memutuskan untuk menyapa lebih dulu.

"Ha—halo?"mungkin orang di seberang sana menyadari suara Radita yang terdengar serak. Tapi gadis itu tak mengetahui siapa yang meneleponnya.

"Lu nangis?"

Tak ada jawaban. Radita menenggelamkan wajahnya di bantal untuk meredam isak tangis yang tak kunjung berhenti. Itu suara Fahri.

"Gak usah nangis elah, Dit. Sini turun. Gue lagi main sama Miqdad. Ngurung diri mulu di kamar"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Hanyalah JurnalisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang