14

3.9K 210 3
                                        

Adinda membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur sejenak sebelum ia melihat dua sosok yang sangat dikenalnya: Rafka dan Sinta. Rasa syukur meluap di dalam hatinya. "Alhamdulillah, kamu sudah sadar," ucap Sinta, sorot matanya dipenuhi kelegaan.

"Kamu tidak apa-apa kan, Sin? Maafkan aku," kata Adinda, rasa bersalah membanjiri pikirannya saat mengingat kejadian yang tak terhindarkan itu.

"Tidak, Din. Aku baik-baik saja," jawab Sinta, meskipun suara lembutnya menyimpan sedikit kegundahan.

"Mobil kesayanganku tidak apa-apa kan?" tanya Adinda dengan nada cemas, hatinya berdebar membayangkan kerusakan pada mobil itu.

Rafka, yang mendengarnya, menatap tajam ke arah Adinda. "Mobil yang dipikirkan! Lihat kepalamu, memar karena kecelakaan tadi!" Marahnya, suaranya penuh emosi. Rasa khawatir dan kemarahan bercampur menjadi satu.

"Kak, aku tidak salah! Si Hans itu yang salah!" balas Adinda dengan nada membara, pertahanannya muncul meski mengetahui situasi sulit yang dihadapinya.

"Din, ini kakak kamu?" Sinta bertanya, nada bingung tercipta di antara mereka.

"Iya, kakak tiriku," jawab Adinda, suara mendayu-dayu. Dia merasakan ketidaknyamanan dalam pengakuannya.

"Kenapa Adinda tidak jujur?" tanya Rafka dalam hati, merasa kecewa.

Dengan rasa lelah yang menyelimuti, Adinda bangkit dari tempat tidurnya. Rafka segera memegang tangan Adinda, wajahnya memancarkan kepedulian yang dalam. "Mau ke mana? Kamu masih belum pulih," ujarnya, kekhawatiran membentuk kerutan di dahi.

"Bukan urusanmu. Urus saja Agnia, pacar Kak Rafka," jawab Adinda dingin, berusaha menjaga jarak emosional, meskipun hatinya terasa bergetar.

"Ayo, Sin," ajak Adinda, mencoba menggandeng semangat Sinta.

Tiba-tiba langkah Adinda terhenti, tatapannya tertuju pada Rafka. Di dalam hati, harapan kecil muncul.

Dengan langkah sedikit gontai, Adinda mendekati Rafka. Rasa canggung menguar di antara mereka. Sangat dekat. Dalam sekejap, Adinda meraih kunci mobil Rafka yang tersimpan di saku tuxedo milik Rafka,Dengan senyaman kemenangan.

"Din, itu punyaku!" ucap Rafka dengan nada campur marah dan heran, wajahnya menunjukkan keheranan ketika melihat Adinda berani mengambil kunci mobil yang berada di kantung celananya.

"Ya, pinjam! Jangan pelit," ketus Adinda dengan nada yang tegas, meluapkan rasa frustrasinya sebelum beranjak pergi bersama Sinta. Tanpa menoleh, dia merasa perlu untuk meninggalkan ketegangan yang menguar di antara mereka.

Rafka menggelengkan kepalanya kesal. "Menyebalkan. Gue pikir dia mau minta gue untuk balik bareng. Eh, tahu-tahu dia malah ambil kunci mobil gue seenaknya." Ujarnya setengah berbisik, campuran kesal dan bingung menyelimuti perasaannya.

"Kalau bukan istri, udah aku bejek-bejek tuh bocah," lanjutnya, menyesali ketidakberdayaannya menghadapi situasi yang semakin rumit.

"Din, aku yang nyetir ya?" pinta Sinta, mencoba mencairkan suasana yang tegang.

I--" Adinda belum sempat menjawab, tetapi Rafka sudah terlanjur muncul di samping mereka.

"Mana kuncinya?" tanya Rafka, ekspresi serius menghiasi wajahnya. Ia menarik tangan Adinda, memaksanya untuk masuk ke dalam mobil. "Ayo, Sin. Saya sekalian antar," ujarnya dengan nada yang menunjukkan ketegasan.

Sinta tersenyum, tetapi dalam hatinya, ia memikirkan keacuhan yang sedang berlangsung.

"Tidak, Kak. Sinta sama Aa Sinta saja. Dia mau jemput Sinta. Kak Rafka duluan saja, kasihan Adinda," tolak Sinta dengan halus, berusaha menjaga perasaan Adinda yang terlihat canggung.

Waktu Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang