5 Revisi

1K 119 0
                                    

POV orang ketiga

Sepuluh tahun lalu ....

[Maaf Teteh, bukannya nggak mau bantu. Saya sudah datangi beberapa saudara dekat. Kang Dodi kondisi badannya lemah. Teh Tati sareng Teh Lilis kan tos sepuh. Endang keur nyusuan]

Yuni membaca lagi SMS dari Iwan, adik sepupu Syahrir, sang suami. Menghela nafas panjang. Dielusnya perut yang telah membesar. Bulir bening mengalir di pipi.

Tiba-tiba satu tangan halus menghapus air matanya.
Keponakannya sudah kembali dari toilet yang ada di dekat cafetaria rumah sakit. Tempat mereka berada saat ini untuk bersantap siang.

"Jangan nangis, Tante. Nanti ade bayinya ikut sedih."

Ditatapnya keponakan cantik yang mulai beranjak remaja, Hira. "Ayo, kita kembali ke kamar."

"Habiskan dulu makanan Tante.Kita harus kuat biar Paman cepat sembuh. Apa perlu Hira suapi?"

Bulu mata lentiknya mengerjap menggemaskan.

Yuni mencoba tersenyum, Allah mempertemukan jodohnya melalui gadis kecil ini. Si ceriwis Sandya Hira.

"Makan, Tante. Jangan senyum aja." Hira memaksa.

Yuni menyelesaikan makannya dengan malas.

Dari cafetaria rumah sakit, Hira dan Yuni kembali ke kamar perawatan.

Mereka mendapati seorang lelaki muda sedang berbicara dengan Syahrir yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Yuni mengajak Hira ke arah balkon.

"Hira di sini dulu ya. Dengerin musik aja biar ga bosen. Tante mau nemenin Paman di dalem."

Hira mengangguk tanda paham. Segera dipasangnya headset iPod milik Yuni.

Saat Yuni masuk, terdengar Syahrir sedang mendebat si lelaki muda.

"Apakah tim analisis usahamu tidak bisa menghitung dengan benar? Rumah, kendaraan dan usahaku hanya kau hargai segini!"

Dilemparkannya map merah ke lantai. Yuni terpaku di depan jendela balkon yang tertutup. Dibentangkannya gorden. Hira tidak boleh melihat dan mendengar pertengkaran ini. Jakti melirik keberadaannya.

"Kalian jangan membuat keadaan bertambah sulit. Hanya aku yang bersedia membayar dalam waktu dekat. Kalau nggak mau, nggak apa-apa.Cari saja pembeli lain."

"Gak apa-apa bagaimana?! Setelah kau jual ribuan bibit pohon milikku pada developer yang sedang mengerjakan proyek perumahan besar, kau bilang 'gak apa-apa?!" Syahrir berteriak.

"Sabar ... Ingat, Aa harus bisa nahan emosi."

Yuni menghampiri Syahrir dan mengelus tangan suaminya. Membenarkan letak bantal yang menopang badannya lebih tinggi.

Jakti memalingkan muka.

Yuni mengambil map merah yang tergeletak di atas lantai. Saat dilihatnya angka yang tertulis di sana, matanya nanar menatap Jakti.

"Lahannya sekarang kosong. Bagaimana bisa kalian menjual celengan kosong dengan harga celengan yang terisi penuh. Siapa yang mau beli. Kalau mau, besok kita deal.Aku yang akan mengurus semua berkasnya. Kalian tahu beres saja." Jakti berbicara panjang lebar.

"Enyah kau dari hadapanku!" Syahrir kembali berteriak.

"Istrimu bilang kau harus bisa menahan emosi, Pak Tua. Ingat, sebentar lagi kau akan jadi bapak. Aku pergi. Pikirkan baik-baik perkataanku. Hubungi aku jika kalian berubah pikiran." Jakti pergi dengan tenang.

Syahrir menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sekuat tenaga menahan emosi. Tak mempedulikan salah satu tangannya yang tertancap selang infus.Cairan merah mengalir di dalam selang.

PENGANTIN KECILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang