32 Revisi

735 96 12
                                    

Hira

"Jadi, selama ini para mahasiswa anggap aku Firaun? Hiihhh serem amat."
Jakti membalik tubuhku.

"Iya, dan aku nggak mau dianggap boneka kamu kayak Pak Rektor. Aku ini istri kamu!"
Sebenarnya malas nyebut kalimat terakhir. Ntar dia gede rasa , tapi memang aku istrinya. Nggak pantes disuruh-suruh gantiin posisi dia. Gak etis.

Setahuku, di kampus lain, jabatan Ketua Ikatan Alumni dilakukan melalui pemilihan demokratis. Atau musyawarah dipilih tokoh yang paling berpengaruh dan sukses. Dia mungkin masuk kategori ini, tapi aku?

Sebenarnya, dia niat nggak sih ngelepas jabatannya?

"Istri aku ya? Kalau istri, tugasnya nyenengin suami dong."
Tuh, kan. Asa aing. Mulai ngasih kode-kode nggak jelas.

"Aku cuma mau ngasih saran. Kalau mau bikin dinasti, jangan di kampus. Nanggung. Mending ikut Pilkada!" Kusentakkan tangannya yang mulai tak bisa diam.

Nggak apa-apa lah dilaknat sama malaikat karena nolak maunya suami di malam hari. Dilaknatnya cuma sebentar, sampe pagi. Dan ini udah jam satu malam lewat dikit. Jam setengah lima, bangun lagi, salat subuh. Kecuali kecapean karena hal lain, telat banyak. Berdoa saja masih bisa buka mata.

"Ya udah, nggak usah kesel. Sini, aku peluk."
Jakti memelukku. Alhamdulillah aku nggak jadi dilaknat malaikat karena Jakti ridho. Pelukan dia tanda ridho 'kan?

****

Jakti

Akhirnya, aku mundur dari jabatan Ketua Iluni. Nggak sendiri, bareng pengurus lain, mundur semua. Posisi sekarang, pengurus demisioner. Beberapa dari kami menjadi panitia pelaksana pemilihan Ikatan Alumni periode mendatang.

Terus, kegiatanku apa? Ngumpulin uang untuk ikut Pilkada. Haha... Nggak ah bercanda. Mending mepet-mepet Pengantin Kecilku yang sikapnya masih kayak merpati, jinak pengen ngejitak. Dia yang pengen ngejitak aku.

Ada ego dan energi tak tersalurkan saat kegiatan berkurang, sesuatu yang hilang.
Maklum, enam tahun ngatur-ngatur orang di kampus. Asal tunjuk sana sini. Angkat dan lelepin orang semau gue.

Karena alasanku ingin menghabiskan waktu bersamanya, akhirnya aku ikut ke mana Hira pergi, bersama Iwan. Tentu saat tak ada jadwal ngantor.

****

"Coba deh, Om, hitung ulang. Produksi rata-rata harian di kebun kita dan semua petani binaan. Sistem kita ini agak beda, sesuai pesanan. Kita nggak mungkin bawain sayur lima belas kilo ke pelanggan, kalau dia cuma mesen dua belas kilo. Yang tiga kilo, dia gak bakal mau bayar.

"Barangnya juga pasti layu. Kebuang percuma." Dengan sabar, Hira menjelaskan pada Iwan.

"Haarruuhhh pusing amat sih! Kunaon gak dari dulu Aa jualan jengkol aja. Kan awet." Iwan membanting pulpen di tangannya.

Dia mengambil pulpen yang jatuh dan segera mengerjakan petunjuk Hira setelah aku berdeham keras dan mataku menatap tajam dirinya. Enak saja ngomelin istri Jakti. Nih laki, belum pernah nyium bau lumpur sumur kayaknya.

Kami berada di kafe. Aku duduk di meja seberang. Tak berniat mengganggu maupun membantu. Karena memang nggak ngerti. Nanti malah kacau.

Tiba-tiba, angin menerbangkan satu kertas berisi catatan kecil Hira. Di sana masih tercatat ada kelebihan panen harian. Jumlahnya sangat besar.

"Terus, sisa yang belum terjual mau dikemanain? Mending dijual aja di pasar, ketengan." Aku memberi usul.

"Tenang saja, Om Jakti. Itu sudah kita pikirkan dari awal. Dan juga, sudah kita lakukan. Yang ini, sistemnya beda lagi. Nggak pake sistem pesanan. Kita udah punya data lama jenis sayuran yang banyak dicari. Kebetulan, swalayan yang bangkrut nawarin kita untuk beli pendingin buah dan sayur. Kita sewa tempat di pasar modern plus gudangnya. Sekalian ngambil buah dari beberapa sentra buah-buahan. Ceritanya, ngikutin jejaknya Om Bob Sadino.

"Nggak mungkin juga kan, kita bikin peternakan kelinci agar ada yang makan sisa kangkung yang tak terjual?"

Hira hanya tersenyum mendengar bahasan panjang kali lebar Iwan.

"Jadi, judulnya kalian lagi memperluas usaha? Bikin minimarket sayur dan buah? " Aku bertanya dengan bodoh.

Iwan mengangguk mantap.
"Niatnya udah lama. Terpikirkan lagi karena swalayan bangkrut. Patungan keluarga."

Dia menyodorkan satu kertas berisi catatan keuangan usaha keluarga mereka. Aku melotot. Singkat cerita, Hira keponakan sultan kecil dari pelosok Jawa Barat.

Nyungsep bareng yuk, Wan. Nyium bau lumpur sumur.

****

Mereka berhasil membuat kesepakatan dengan banyak pelanggan. Aku bangga pada Hira. Pasti nggak mudah, cape muter-muter Tangerang, sebagian ibu kota sampai Jababeka. Nawarin komoditas yang gak kenal kompromi sama cuaca. Nggak awet.

Hari ini, jadwalnya ke pelanggan terdekat. Yang jauh, sudah.

Menjelang sore, kami memasuki sebuah rumah besar. Home industry. Kata Iwan, rumah ini milik pengusaha katering yang menyuplai makanan ke pabrik-pabrik sekitar.

Ternyata yang membukakan pintu, Cindy. Diaaaa ....

"Jakti, lo ganti job jadi tukang sayur ya?! Akhirnya kena karma! Gue doain terong lo cepet layu! Eh maaf, Dek. Om kamu ngeselin. Ninggalin cewek di kamar hotel sendiri!"

Mulut Iwan menganga lebar. Hira sempat terkejut. Namun, dia bisa mengendalikan diri dengan baik. Raut mukanya datar. Sangat datar.

Kejadian kurang mengenakkan dan semoga tak berulang. Masalahnya, kemungkinan besar bisa terjadi lagi.

****

"Sini, gantian. Biar aku yang nyetir." Kuminta kunci mobil dari Iwan. Seharian, dia yang nyetir. Aku duduk di sampingnya. Nemenin ngobrol. Hira di belakang sibuk mengetik dan memeriksa berkas.

Karena kejadian tadi, Hira pindah ke depan. Tempat yang sebelumnya kududuki. Saat mau masuk, pintu mobil terkunci. Ternyata Hira megang kunci cadangan. Dia pindah ke kursi supir. Pintu depan tetap terkunci. Mau tak mau, aku dan Iwan duduk di kursi belakang.

Alhamdulillah, masih dibawa ikut pulang.

****

Hira mengendara dengan kecepatan penuh. Iwan megang handle pintu dengan erat. Teriak-teriak minta dipelanin. Alesannya, gak lucu mati sama tukang celup tapi nggak pernah nyelup.

Aku sih senyum-senyum aja. Dia ngebut karena cemburu, 'kan? Dibawa mati pun rela. Ntar sehidup sesurga.

"Akhirnya, mampir juga ke tempat makan. Kirain tadi mau dibawa ke akherat. Hhhh ... Lapeerr!!!" Iwan memutar-mutar telapak tangan di atas perutnya.

****

Kami sedang menikmati menu franchise asing saat dua orang perempuan menghampiri.

"Hai, Ganteng!" Dia mengedipkan satu mata untuk menggodaku. Kode lama.

"Dek, kamu sering-sering ajak Om Jakti makan chicken krispi biar testosteronnya turun."  Satu tangan perempuan lainnya menepuk pelan pundak Hira yang sedang memegang ayam goreng.

Aku terbatuk-batuk. Benar-benar lupa siapa mereka yang berlalu begitu saja setelah menyimpan bom waktu.

"Tiga, Bro, dalam sehari." Iwan berkata santai. Dia sudah nggak kaget.

"Permisi, aku mau ke toilet." Hira berdiri. Suaranya bergetar. Badannya terhalang tubuh Iwan.

Tiga perempuan menganggap Hira adalah keponakanku. Bangke. Memang sebelumnya, aku tak pernah mendekati perempuan yang usianya terpaut sangat jauh. Paling muda, seumur Bella. Salah satu mantan yang kuundang datang ke resepsi karena sama-sama sudah insaf. Masing-masing sudah punya pasangan. Kalau nggak, ya begitu. Ketemu kayak pengen nyekek atau nyindir-nyindir. Menyimpan dendam lama karena kutinggalkan.

Kali ini aku tahu, harus bicara banyak pada Hira. Karena masa laluku bisa datang kapan saja tanpa bisa dicegah. Tak bisa dikendalikan. Menyakiti dia.  Dan aku harus mulai menceritakan banyak hal tentang keseharian. Jangan sampai Hira beranggapan, aku masih melakukan keburukan yang sama.

====

PENGANTIN KECILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang