27 Revisi

775 90 11
                                    

Hira

"Biru, ungu, coklat, pink."

Benar-benar nggak ada kerjaan. Jakti menyebutkan beberapa warna yang menghiasi leherku.

"Tidur, Jakti. Besok waktunya beres-beres rumah." Aku menarik selimut menutupi kepala dan memunggunginya.

Mataku terpejam dengan cepat.

****

Jakti

Ini nggak adil. Bagaimana perempuan bisa tertidur dengan cepat bahkan hanya dengan melakukan pemanasan. Sepuluh menit yang membuatku semakin pusing. Hormon oksitosin tak berpihak.

Aku berpindah ke kamar sebelah. Berjalan cepat di treadmill selama empat puluh lima menit. Berharap, rasa lelah membuatku cepat tertidur.

Aku memang lelah. Banjir keringat. Tapi begitu memasuki kamar, testosteronku kembali naik. Tubuh yang terbungkus selimut tebal di atas pembaringan tetap memancing liar imajinasiku. Terpaksa menghabiskan waktu lebih lama di kamar mandi. Tiap malam.

Apalagi aku tak melakukan kegiatan apapun sejak menikah. Hanya bolak balik nganterin Hira ke kampus. Memasak untuknya yang terlalu sibuk merevisi naskah. Catatan kecil dosen pembimbing laporan akhir. Semoga kebersamaan ini akan membuat segalanya lebih mudah. Lumayan, Hira mulai merespon saat aku mengajaknya pas foto.

Enam hari yang melelahkan. Sama dengan waktu yang dihabiskan untuk melakukan perjalanan dinas ke Jepang dan Tiongkok. Membuat kesepakatan kerjasama berharga ratusan milyar.

Bedanya, perempuan yang tertidur dengan damai di sana, tak ternilai.

****

Hira

"Ya udah kamu aja yang masak! Dasar rewel." Aku menjauhi pantry.

Jakti dan dapur. Dua hal tak terpisahkan. Don juan yang aneh. Aku tak berminat mendekati dapur setelah omelannya karena sedikit kulit bawang tercecer. Katanya, dapur bekas kupakai, kurang bersih.

Kami sepakat membagi tugas bersama. Aku mencuci dan menyetrika pakaian. Dia memasak dan membenahi bekas makan.

Membersihkan apartemen, kami lakukan bersama. Hari ini libur. Artinya, jadwal bersih-bersih.

****
Aku mengelap perlahan satu bingkai foto di samping lampion.

"Itu, Papa. Papa meninggal saat aku masih kecil. Serangan jantung." Tanpa kuminta, Jakti bercerita banyak hal tentang keluarganya. Dibesarkan penuh kasih oleh Mama dan kakak sulung yang terpaut jauh usianya, Mas Ragil, papanya Okan."

"Ayah mendadak sakit setelah membelikan kebutuhan sekolah TK. Dua hari kemudian, nggak ada. Aku tak pernah mengenal almarhum Ibu. Paman Syahrir jarang banget bercerita tentang beliau." Aku pun berkisah. Saat itu, aku bingung tak mendapati dua wajah yang sama.

Jakti memelukku. Dia mengusap kepala dan punggungku. "Tak apa. Meski tak lagi memiliki orang tua, kita dibesarkan dengan penuh kasih oleh orang-orang terdekat." Aku mengangguk.

"Mereka sama-sama pergi dengan tiba-tiba saat umur kita masih kecil. Betapa repotnya keluarga yang membesarkan kita."

"Kamu bisa memperbanyak foto keluarga di rumah Paman dan memasangnya di sini. Berdampingan dengan foto-foto keluargaku."

"Benarkah? Boleh?"

"Tentu saja. Karena kita adalah keluarga." Jakti tersenyum sambil tangannya terus bergerak mengganti sarung bantal sofa.

====

"Jangan lupa, ini." Jakti memasukkan beberapa lingerie beragam warna ke dalam ransel. Warna yang ada di lagu 'Balonku'. Tanpa warna hijau karena sudah meletus.

PENGANTIN KECILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang