"Selamat bergabung di Klub Jurnalistik, [Surname]. Semoga betah, ya," ujar Kak Hiro menyambut kedatanganku di ruang Klub Jurnalistik sore ini. Dia siswa kelas tiga, juga merupakan ketua klub.
"Mohon bantuannya, Kak." Aku mengangguk sopan.
Kak Hiro tersenyum ramah. Tangannya menepuk-nepuk karpet ruangan di sisi sampingnya yang kosong, mengisyaratkanku untuk duduk.
"Sini-sini, [Surname]. Kamu rajin banget udah dateng jam segini."
"Iya, Kak. Menghadiri first gath anggota klub, 'kan kudu semangat," aku menimpali dengan memberi cengiran. Lantas, aku duduk bersimpuh tak jauh dari Kak Hiro. Kami mengobrol beberapa saat sambil menunggu anggota lain datang.
Di tahun kedua ini, aku baru memutuskan untuk mengikuti klub. Tahun pertama kulalui dengan menjadi siswa yang biasa-biasa saja. Sekedar sekolah, lalu pulang. Belajar juga tidak terlalu ambis seperti yang kebanyakan teman-temanku lakukan.
Sampai terkadang, aku menganggap diriku terlalu apatis di tahun pertama. Kenal teman angkatan di luar kelas pun hanya beberapa. Padahal aku gak begitu anti sosial.
Hingga akhirnya di waktu-waktu tertentu aku sadar, menjalani hari dengan biasa-biasa saja itu bisa membuat diri berada di titik lelah akan kebosanan, meski titik itu memang nyaman.
Kalau kata orang bijak, 'Sekali-kali keluarlah dari zona nyaman. Kau tidak pernah tahu apa yang akan kau temui di luar sana. Dunia itu luas!'
Jurnalistik menjadi pilihanku untuk mencoba mencari batu loncatan lain di kehidupan SMA. Bukan karena aku ekspert dalam bidang tersebut, tapi aku sedikit-banyak gemar membaca dan menulis.
"Met sore! Eh--wah, kamu anak kelas 2 yang baru join klub ya?!" Seorang perempuan yang baru memasuki ruangan tiba-tiba berseru ke arahku.
Matanya berbinar kala menghampiriku, dia langsung menghujaniku beberapa pertanyaan, "Namamu siapa? Kelas apa? Di sini jadi divisi apa? Jurnalis, fotografer, editor, atau desain? Punya kesukaan apa?"
Aku kelimpungan menjawab. "A-anu, Kak--"
"Manami! Berhenti bertubi-tubi menanyainya!" Kak Hiro memarahi perempuan di hadapanku ini. Dia terkekeh lalu meminta maaf.
"Maaf ya, [Surname]. Manami emang suka heboh sendiri orangnya," jelas Kak Hiro. Aku mengangguk maklum.
"Nggak apa kok, Kak. Namaku [Surname] [Name] dari kelas 2-6, aku di sini daftar dan diterima jadi jurnalis. Mohon bantuannya."
Kak Manami menggoyang-goyangkan tangan kami yang saling berjabat. Raut mukanya menyenangkan.
"Mohon bantuannya juga [Name]! Aku Manami dari kelas 3-4," ujarnya memperkenalkan diri. Ia lalu menoleh ke arah pintu ruangan.
"Misi, oh masih sepi ya."
Aku tertegun ketika mengarahkan pandangan pada sosok yang memasuki ruangan.
Sosokmu.
Kau masih bergeming di ambang pintu.
"Suna, kamu jadi dateng? Bukannya ada latihan voli?" Ini Hiro-san yang bertanya.
"Nggak jadi, pelatih bilang libur hari ini."
"Bagus kalo gitu, bisa ikut ngeramein first gath."
"Suna! Kamu kelas 2 'kan? Tahu [Name] ini gak?"
Matamu memicing ke arahku. Seolah mencerna presensiku. Aku masih memandangmu dengan tertegun.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mata kita saling bertemu kembali.
"Maaf, enggak tahu. Anggota baru ya?"
Hatiku mendadak mencelos.
"Iya, payah sekali kamu, Suna! Teman seangkatan sendiri masa' gak kenal!" cibir Kak Manami.
"Eh, Manami, ikut aku ke ruang guru. Ini dikabarin barusan perlengkapan ruangan untuk klub yang disubsidi sekolah dateng," kata Kak Hiro. Dia lalu menoleh ke arahku dan arahmu. "Suna dan [Surname], jaga ruangan dulu ya sampai anggota lain dateng!"
Kak Manami bangkit dari posisi duduknya. Dia lalu melangkah keluar mengikuti Sang Ketua Klub. Sejenak, dia menepuk bahumu.
"Sana kenalan dulu. Btw [Name], Suna ini tukang foto andalan kami, lho!"
-o-
Rasanya seperti deja vu, saat kini dirimu dan diriku sama-sama bersandar di dinding ruangan klub. Duduk tak berjauhan, saling diam.
Kau sibuk dengan ponselmu, aku sibuk bergelut dengan pemikiranku, menimbang-nimbang posibilitas untuk menyapa.
Padahal aku sudah bertekad untuk tidak akan lagi ragu memulai sesuatu.
Sebenarnya aku benar-benar melakukannya.
Aku tak ragu beradaptasi dengan teman-teman kelas dan hingga kini memiliki hubungan baik dengan mereka.
Aku juga tak ragu dengan keputusanku untuk mulai bergabung di klub saat kelas dua. Dan dari proses pendaftaran, seleksi hingga aku diterima di klub ini, aku merasa aku akan nyaman dan betah.
Kenapa ketika kembali bertemu denganmu aku menemukan keraguan untuk sekedar menyapa? Seperti ada sinyal reset, yang kembali seperti hari itu.
Ah, kau mungkin tidak ingat tentang hari itu. Meringis rasanya ketika tahu yang hingga kini masih mengingat hal sepele tersebut hanyalah aku saja.
"Kau anak kelas dua?" Atmosfer canggung terpecahkan begitu kau yang duluan memilih membuka suara. Aku merasa seperti dikalahkan oleh pemikiranku saja.
"Iya. Aku [Surname] [Name] dari kelas 2-6, salam kenal!"
"Oh, 2-6. Aku Suna Rintarou, kelas 2-1. Salam kenal juga, [Surname]-san."
Pada akhirnya kita saling merekonstruksi perkenalan yang sebelumnya pernah terjadi. Sudut bibir terangkat mengulas sebuah senyuman tipis.
"Panggil [Name] saja, aku tidak suka terlalu formal sama teman seangkatan. Boleh aku memanggil nama depanmu juga?"
Kau mengiyakan, "Oke, [Name]. Boleh saja."
"Terima kasih, Rintarou. Namamu indah."
Aku sama sekali tidak berbohong ketika berucap demikian, dan tak menyangka juga mulutku akan mengungkapkannya. Bukan bermaksud hiperbola atau apa, tapi kenyataannya memang namamu indah untuk dilafalkan.
Terlepas dari ketidakpercayaanku bahwa kau juga bergabung di Klub Jurnalistik, setidaknya aku jadi bersyukur. Suatu perasaan yang membuncah, mencuat dari relung hati.
Sebab kau mungkin tidak tahu, bahwa sebenarnya aku telah menunggu momen untuk dapat mengucapkan nama depanmu. Semenjak hari itu, semenjak aku pertama kali melihatmu bermain voli, semenjak aku menonton permainanmu di Turnamen Spring High di menjelang akhir tahun pertama Januari lalu.
Dan momen itu dimulai dari hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
skeptis ❥ s. rintarou
Fanfiction[ reader x suna rintarou ] karenamu, aku mulai mencoba menepis segala ragu. namun, jika tentangmu, mengapa aku selalu menemukan ragu yang kembali berpendar? ia mengedar dalam kelebat bayang, melesak dalam pikiran-pikiran, dan menjerembabkan sanubar...