Chapter 22

17 2 0
                                    

Mereka diam dalam posisi masing-masing untuk beberapa saat. Brian merengkuh Winata dalam pelukannya, menghujani puncak kepala yang lebih muda dengan beberapa kecupan- kecupan singkat, sementara yang direngkuh menangis, menumpahkan sesak di dada yang terlalu lama ia pendam. 

Setelah merasa jauh lebih bisa untuk mengendalikan dirinya, Winata yang sudah mengubah posisinya untuk menyandarkan dagunya di bahu Brian, kembali membuka suaranya. 

"Izinin aku pergi ya, Bri?"

"Winata-hmph.

Protes yang hendak Brian keluarkan, terhenti di ujung lidahnya ketika Winata memangkas habis jarak mereka, menekan kepala bagian belakangnya dalam satu gerakan cepat dan mempertemukan bibir mereka. 

Kedua mata Brian terpejam erat. Tangan besarnya terangkat menangkup dan mengelus pipi sebelah kanan Winata yang basah oleh buliran kristal bening. Bibirnya bergerak memberi lumatan pelan yang dalam pada bibir ranum milik Winata seiring dengan air matanya yang jatuh membasah akibat rasa sesak hebat yang membelenggu dadanya saat ini.

Hati Brian terasa dihimpit oleh bongkahan batu besar. Sesak rasanya. la ingin sekali menahan Winata, namun apa yang Winata ucapan itu benar. Masalah mereka tidak semudah ini. la tidak bisa menahan Winata sekaligus Sky sebelum ia bicara dengan Pink, orangtua Pink, dan orangtuanya sendiri. 

Brian tahu, itu alasan Winata untuk memilih berhenti di titik ini. 

Tuntutan oksigen dalam paru-paru mereka akhirnya memaksa kedua insan itu untuk menarik diri dari satu sama lain. 

Masih dengan nafas tersengal, Winata menyandarkan dahinya pada dahi Brian, "Please? Brian, please? Okay?"

Pikiran Brian berkecamuk. Terlalu banyak hal yang harus ia benahi disini. Tapi mereka memang tidak punya banyak pilihan saat ini. 

"Don't make things more complicated than it is already, Bri. I beg you. Please?" Mohon Winata dengan teramat sangat. 

"Okay," setuju Brian pada akhirnya setelah berperang dengan akal sehatnya. Brian tahu, kalau pun ia memaksakan kehendak saat ini, Winata akan jauh lebih sakit lagi nantinya. 

Maka, untuk sekarang, Brian hanya bisa memenuhi keinginan Winata sebelum ia benahi satu persatu apa yang harus ia benahi.

Brian menarik kembali tubuh Winata untuk ia rengkuh dalam pelukan hangatnya. Pelukan yang begitu Winata sukai. Disesapnya aroma tubuh itu dalam-dalam, masih sama. Masih sama seperti dulu. Walaupun bau bayi milik Sky mendominasi. Tapi Brian masih hafal betul, ini Metawin yang dulu ia kenal. Ini Metawin-nya. 

Winata tidak melawan. la turuti kemauan hatinya untuk egois sekali saja malam ini, memiliki kehangatan dari pelukan Brian untuknya seorang. Mendengarkan degup jantung Brian yang seirama dengan miliknya. la benamkan wajahnya dalam dada bidang Brian dengan senyum manis yang terkembang.

Well, at least, Bright remembered her. 

Karena Winata ingat, saat kali pertama ia bertemu Brian, ia berdo'a pada Tuhan. la berdoa agar Tuhan menjatuhkan hatinya sejatuh-jatuhnya pada Brian. 

Tapi yang tak pernah telintas di benak Winata adalah, jatuhnya akan penuh luka dan bukannya asmara seperti ini. 

But it's okay, right? They didn't make it, but at least they tried. 

And that's okay.

Winata merasa sedikit lega karena esok paginya Brian tidak bersikap seolah-olah semalam mereka terlibat dalam percakapan serius yang berujung saling menitikan air mata. 

Pagi itu, Winata terbangun di atas kasur Brian dengan Sky berada ditengah-tengah antara dirinya dan Brian. la bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan untuk Brian dan dirinya, mencicil merapikan pakaian-pakaian Sky untuk dibawa pulang nanti, mandi, bebenah diri, dan menyiapkan baju untuk Sky dan Brian pakai. 

Our Sun ShineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang