Winata memerhatikan pemandangan di luar kaca melalui jendela taksi yang ia naiki. Sebenarnya ia tidak tahu, apakah keputusannya untuk menyetujui kemauan Pink untuk bertemu sudah benar atau tidak. Melihat bagaimana tadi Pink di rumah sakit bersikap seolah Brian tidak ada disana, bagaimana Pink memperlakukan Sky dengan segitu baiknya, rasanya perasaan bersalah itu bukannya semakin hilang malah semakin menumpuk menghimpit dadanya.
Mahasiswi kedokteran itu menghela nafasnya panjang.
"Mba, ini cafènya kan ada di seberang, ya. Mau turun di depan situ atau mau putar balik? Putaran baliknya soalnya jauh banget nih, mba." Kata si supir taksi menyadarkan Winata dari lamunannya.
Winata celingukkan sebentar lalu ia menjawab, "Oh, gitu ya, pak? Yaudah, nggak papa. Saya turun di depan aja, ya."
Akhirnya taksi yang ia tumpangi itu menepi di tepi jalan.
Dari posisinya berdiri saat ini, Winata bisa lihat sebuah cafe minimalis yang di desain dengan kaca-kaca besar berdiri kokoh di seberang jalan. Parkirannya cukup luas. Ada HRV berwarna abu-abu yang terparkir di samping cafè, sepertinya itu mobil Nanon dan Pawat yang tadi diberi tahu kepadanya.
Winata memendarkan pandangannya ke sekeliling. Mencari adakah zebra cross disana untuk atau tidak. Dan untungnya ada, tapi masih agak jauh di depan sana.
Sky bersuara sambil menarik-narik kerah kemeja yang dipakai oleh Winata, "Uh, uh!"
Winata tersenyum tipis, "lya, nanti dulu ya sayang, ya. Habis ini kita pulang. Tapi, Mami harus ketemu sama aunty Pink dulu. Oke?" Winata menyesal ia tidak membawa carrier Sky, karena ternyata sekarang Sky lumayan cukup berat juga kalau digendong dengan tangan lepas begini.
Kemudian Winata melangkahkan kakinya lagi. Sesekali senyum manis nampak menghias di wajahnya seiring kakinya melangkah di jalur pejalan kaki diiringi dengan gelak tawa Sky yang ia ajak bercanda.
Namun saat dirinya sudah berada di tengah- tengah jalan, tepat di atas zebra cross yang ia pijaki, langkah Winata terhenti oleh sebuah dentuman dari dua benda yang saling menghantam serta cicitan karet ban kendaraan dengan aspal.
BUGH. DUAAAR.
Winata menolehkan ke arahnya ke sumber suara. Tak seberapa jauh dari tempatnya sekarang berdiri, terjadi kecelakaan beruntun yang melibatkan mini bus yang kehilangan kendali dan beberapa mobil pribadi yang sedang melintas maupun terparkir disana.
Fokus Winata terlalu terpaku dengan kejadian yang terjadi di sekitarnya sampai-sampai ia tidak sadar kalau dari arah berlawannya ada sebuah mobil ugal-ugalan yang melaju kencang ke arahnya dan Sky. Saat ia hendak melanjutkan langkahnya untuk setidaknya menelfon nomor emergensi atas kecelakaan yang terjadi disana, tiba-tiba tiga buah suara meneriakinya.
"WINATA, AWAS!"
Winata refleks menoleh mencari suara-suara itu. Winata yakin ia mengenali tiga suara berbeda itu. Ada suara Brian disana.
Tapi sebelum ia sempat mendapati dimana sumber suara yang meneriakinya, tubuhnya sudah terhuyung karena di dorong cukup keras oleh seseorang. Sebelum ia benar-benar tersungkur ke atas konblok sisi jalan yang menjadi jalur pejalan kaki, tangan-tangan Winata secara otomatis memeluk Sky erat- erat, melindungi kepala sang anak agar tidak terbentur jika mereka berdua jatuh setelah ini.
BRUGH.
Winata mematung pada posisinya saat ia menyadari siapa yang mendorongnya–lebih tepatnya menyelamatinya.
"Pink!"
Winata benar. Ada Brian disana, di seberang jalan menatap panik ke arah tubuh Pink yang tergeletak bersimbah darah di tengah jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Sun Shine
FanfictionHidup Brian sejatinya normal. Teman, pacar, keluarga, harta, semua yang didamba oleh kebanyakan orang lain, ia punya semuanya. Sampai akhirnya, Winata datang mengetuk pintu apartemennya dengan seorang bayi dalam gendongannya, hidup Brian tidak perna...