Menutupi Luka : 3

12 1 0
                                    

Kita semua pasti pernah terluka. Tidak mengapa, karena luka dapat mendewasakan kita.

><><><><

            "Tangan kenapa, Ndi?"

"Kena pisau. Biasa."

"Masa sampai ke lengan?"

"Gak sengaja."

Aku tidak percaya.

Aku yang sedari tadi memperhatikan percakapan Lana dan Indi, mulai mengamati hansaplast yang tertempel di lengan kanan Indi. Terlihat jelas karena lengan bajunya tersingkap. Ini sudah kesekiankalinya Indi mendapat luka di tempat yang sama. Tentu bukan hanya hiasan, karena jika memang itu hiasan, 'mana mungkin Indi selalu meringis kesakitan setiap hansaplastnya bersinggungan?'

Lana berdecak tidak puas atas jawaban yang Indi berikan pada pertanyaannya, tetapi kemudian mengangguk berusaha terlihat acuh. Ia kemudian membalikkan tubuhnya menghadap ke depan, melanjutkan menyalin pr milikku dan Indi kembali menggambar.

"Ra! Kamar mandi, yuk!" ajak Kayla. Sama sepertiku, Kayla juga hanya diam mengamati. Aku langsung membalas ajakan Kayla dengan anggukan antusias. Lebih baik meninggalkan mereka berdua, pasti mereka akan berbaikkan kembali jika hanya ditinggalkan berdua.

Aku keluar kelas bersama dengan Kayla, meninggalkan Lana yang menatap kami kesal. Sekarang masih jam istirahat dan kami berempat yang berjanjian membawa bekal, sudah menghabiskan bekal lebih awal. Di kelas juga hanya tersisa beberapa orang, sekadar untuk mengobrol ataupun mengerjakan PR (tetapi karena dikerjakan di sekolah, maka berubah menjadi Pekerjaan sekolah/PS).

Koridor lumayan ramai, kebanyakan murid berkumpul di lapangan untuk menonton tim futsal. Lapangan biasanya ada saja yang menggunakan; entah untuk bermain sepak bola, basket, voli, ataupun bulu tangkis. Tapi sekarang lapangan sedang dikuasai eskul futsal. Kudengar mereka akan mengikuti lomba bulan depan.

SMP tempatku bersekolah berbentuk huruf U. Mempunyai lapangan yamg besar dan memiliki tiga lantai. Lantai satu untuk anak kelas 3, lantai dua untuk kelas 2, dan lantai tiga untuk kelas 1. Sedangkan ruang guru serta kepala sekolah berada di lantai tiga lalu kamar mandi terletak di samping tangga menuju lantai dua.

Beriringan denganku, Kayla memberikan pendapat mengenai luka yang didapat Indi di lengannya. Katanya, ia khawatir mengenai keadaan Indi yang tidak mau jujur, tetapi sebagai sahabat yang baik, kita tidak bisa memaksa Indi untuk berterus terang tentang lukanya itu jika dia belum mau bercerita. Aku mengangguk, menyetujuinya.

Kita semua pasti punya rahasia yang tidak ingin orang lain tau.

Belum sampai kakiku mendarat untuk melangkah masuk ke dalam kamar mandi, tanganku ditarik kencang lalu dihempaskan bersamaan dengan suara nyaring menyusul rasa sakit di pipiku. Kepalaku sedikit tertoleh miring akibat sentakan di pipi.

"Aira!" pekik Kayla.

Telingaku berdenging akibat tamparan yang baru saja kudapatkan. Ngilu dan berdenyut. Rasanya sakit walau sudah sering mendapatinya.

Namun, sakit akibat tamparan tergantikan dengan sesak yang kini bersarang di dadaku ketika mendapati seorang perempuan paruh baya menatapku murka, di belakangnya terdapat perempuan sebayaku yang menunduk. Tante Sarah? Ela?

"Berani sekali kamu hina anak saya!"

"Maksud tan-tante gimana?" tanyaku linglung.

Kerumunan murid mulai membentuk lingkaran yang mengelilingi kami, yang terlihat di mata mereka adalah aku sebagai tokoh antagonis dan Tante Sarah sebagai tokoh pembela, sedangkan Ela yang berdiri dibelakang sebagai tokoh utama.

"Apa salah kalau saya jualan kopi di pinggir jalan? Salah?! Tega banget kamu Aira sampai hina Ela cuma karena saya Tukang kopi!" berang Tante Sarah.

Apa?

Menghina?

Buru-buru aku menggeleng, berusaha memberikan penjelasan bahwa aku tidak melakukan apa yang Tante Sarah tuduhkan. Namun, menyedihkan, mulutku seakan terkunci, tidak dapat melakukan suatu pembelaan di hadapan banyak orang.

"Ibu, tolong jangan asal tuduh! Ibu tau darimana memang?" tanya Kayla menggantikanku, tangannya menggenggam jemariku yang terasa dingin. Menguatkan.

"Ela udah kasih tau saya semuanya! Ya Allah! Kurang baik apa keluarga saya sama kamu, Aira?" Tante Sarah menatapku kecewa sebelum berbalik pergi menarik tangan Ela lalu pergi meninggalkanku yang kini dikelilingi cibiran dari orang-orang dengan raut wajah mencemooh.

Dalam tangis yang menyesakkan, samar kudengar. "Hidupnya aja gabener, udah berani hina orang lain."






***


Tante Sarah merupakan tetangga yang dikenal baik oleh keluargaku, ia seorang janda cerai dan mempunyai satu anak bernama Ela yang merupakan teman sekelasku.

Berprofesi sebagai penjual kopi keliling. Gosip tentang Tante Sarah yang setiap malam selalu membawa laki-laki berbeda ke dalam rumahnya menjadikannya dikenal sebagai seorang pelacur di lingkungan rumahku.

Tapi aku tau gosip itu tidak benar.

Aku tau Tante Sarah membawa teman laki-laki ke dalam rumahnya hanya untuk bersilahturahmi. Beliau hanya punya teman laki-laki di hidupnya kecuali ibuku. Lagipula, setiap temannya berkunjung, selalu ada aku atau adik-adikku yang bermain di rumahnya.

Tante Sarah tidak pernah menampik gosip buruk yang sudah mencemari namanya. Setiap kutanya, ia hanya menjawab dengan canda. "Susah kalau orang udah anggap kita jelek."

Tante Sarah merupakan sosok ibu yang baik terhadap anaknya dan keluargaku, aku beserta adik-adikku pun mengidolakannya.

Sekarang bagaimana? Sebenarnya apa yang terjadi?

Benakku mengingat kejadian memalukan tadi. Ela!

Bagaimana bisa Ela menuduhku seperti itu? Yang menghinanya 'kan orang-orang di kelas. Aku justru membelanya. Kenapa? Kenapa Ela---?

Aku menggelengkan kepala. Sakit sekali rasanya mendapat tuduhan tidak benar seperti ini. Menutup mulut untuk menahan suara isak yang keluar dari mulutku, air mata kubiarkan mengalir deras membasahi kerudung milikku ataupun jatuh menetes menyentuh lantai kamar mandi. Di luar, Kayla mulai mengetuk pintu.

"Ra? Keluar yah," bujuknya lembut. Ada getir khawatir di dalam nada suaranya. Aku tidak tau sudah berada berapa lama dalam kamar mandi, mungkin bel masuk sudah berbunyi.

Menyalakan keran, aku membasuh muka dengan tangan gemetar. Menghembuskan napas beberapa kali sebelum membuka pintu dan menemukan Kayla menatapku khawatir, tatapanku jatuh pada jemarinya yang menggenggam roknya terlalu erat.

Tangisku pecah kembali ketika mendapati air mata Kayla jatuh hingga Kayla memeluk diriku.













><><><><><><><><

Isinya sedikit?
Bosen tau baca ini banyak-banyak.
Berat lho, bok.

July 19, 2020.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Histo (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang