Suara detik jam saat ini lebih mendominasi di ruang keluarga. Abah berjalan mondar-mandir sambil merenungi pernyataan Naya yang baru saja selesai dijelaskan beberapa menit lalu. Pernyataannya tentang perkelahian Arhan di sekolah pada jam istirahat tadi.
Abah berhenti lalu duduk pada kursi kebesarannya, "Bagaimana Arhan? Ada pembelaan?"
Arhan menunduk diam, tak berani menatap bola mata Abah yang sebenarnya biasa saja. Tapi, bila mendengar suaranya saja, sudah membuat hatinya ketar-ketir.
"Arhan?!" ulang Abah lagi, lebih tegas dari sebelumnya.
Umma mencoba menenangkan Abah agar tak perlu menggunakan emosi. Ini memang kali pertama Arhan membuat masalah di sekolah berupa perkelahian. Bahkan, memar di wajah Arhan sangat terlihat, menjadi bukti jelas bahwa dia memang adu tonjok tadi.
"M-ma-maaf, Bah! Arhan terpaksa," akhirnya Arhan membuka mulutnya, walaupun suaranya kini terdengar getir.
"Terpaksa? Apa masalahmu tidak bisa diselesaikan dengan cara yang lebih bijak? Sejak kapan Abah mengajarimu untuk adu kekuatan seperti itu? Apa untungnya, Han? Hah?!" Abah mulai emosi, namun dengan cepat Umma menuntun Abah untuk beristigfar.
Percayalah! Sama seperti Arhan. Amar, Aryan, dan Naya, mereka semua menunduk diam, tak berani barang sedikitpun melirik ke arah Abah.
Abah pun mulai menetralkan emosinya kembali, "Arhan! Katakan apa masalah yang membuatmu berkelahi seperti tadi?"
Arhan kembali terdiam, jika dia mengatakan yang sebenarnya, tentu akan membuat masalah baru. Tetapi, jika tidak dikatakan, maka sama saja kembali menyulut emosi Abah.
"Itu, Bah. Anu.... Hmm, Juna—" lidah Arhan terasa kelu untuk mengatakan kejujuran, sungguh ingin rasanya Arhan memotong lidahnya sendiri. Hal bodoh apa yang sudah ia lakukan?
"Bilang saja, nak! Biar Abahmu tahu kamu ada masalah apa?" Umma mencoba meyakinkan Arhan.
Arhan menarik napas panjang lalu, menelan ludahnya perlahan, ia memang salah, jadi ia pun siap untuk dihukum Abah, "Waktu jam pelajaran, Juna bolos, Bah. Dia teman sekelas Arhan. Terus, dia kepergok Satpam lagi pacaran di taman belakang sekolah,"
"Lah? Masalahnya buat kamu apa? Kenapa malah kamu yang adu tonjok? Apa kamu jadi algojo sekolah sekarang? Tugasnya mukulin siswa yang melanggar tata tertib, begitu?" tanya Abah lagi.
"Hmm, masalahnya... Dia pacaran sama pacar Arhan, Bah," jawab Arhan memelankan suara pada bagian akhir. Bagian yang paling penting.
"Sama?!" tanya Abah lagi kali ini sambil berjalan ke arah Arhan yang tengah duduk bersampingan dengan saudara yang lainnya.
"Sama pacar Arhan, Bah," ulang Arhan lagi masih secara pelan.
"Berdiri sekarang!" perintah Abah.
Arhan langsung berdiri menghadap Abah, kedua tangannya mengepal gemetar. Firasat Arhan mengatakan, ia akan segera mendapatkan pukulan. Ternyata salah, Abah tidak memukulnya melainkan mencubit perut Arhan sampai memutarnya.
"A-aduh, Bah! Ampun, Bah! Sakit!" kata Arhan mengaduh kesakitan.
"Siapa yang ngajarin pacaran? Hah? Abah dulu gak ada pacar-pacaran sama Umma kamu. Kok bisa-bisanya pacaran? Niat sekolah mau belajar atau mau pacaran?!" Abah masih mencubit keras perut Arhan.
"Se-sekolah mau belajar atuh, Bah. Arhan khilaf, cuma penasaran doang,"
"Khilaf dari hongkong! Udah berapa lama pacaran?"
"Baru dua minggu, Bah,"
"Oh, baru dua minggu? Besok Abah lamarin ke pacarmu, langsung malamnya Abah yang ijabin, gimana? Gak usah sekolah tinggi-tinggi, buat apa? Disuruh menuntut ilmu malah mencari jodoh,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Cinta Hanaya [Hiatus]
Teen Fiction[BACA AJA DULU💜] Percaya, 'kan? Yang namanya perubahan itu memang tidak mudah. Ketika kita berada di zaman milenial yang kebanyakan lebih mementingkan pacar dan dunianya dibandingkan ilmu agama. Miris memang! Namun bukan berarti tidak ada sama seka...