👵 Mak Ijah

6 0 0
                                    

Liburan kuliah telah tiba. Seperti biasa, ini saatnya aku pulang ke papah mamah. Tak sabar aku bertemu mereka. Sudah rindu rasanya. Segera kumasukkan barang-barang yang perlu kubawa ke dalam ransel agak kucel kesayanganku.

DUUURTT. Telepon genggamku bergetar.

"Dek, kamu jadi pulang hari ini toh?", suara mamah dari telepon.

"Iya, Mah. Ini aku lagi beres-beres".

"Mamah sama papah ke rumah nenek dulu 2 hari ya, Dek. Mendadak sekali ini juga. Tapi mamah udah beliin bahan-bahan buat kamu makan 2 hari. Udah mamah taroh semua di kulkas. Bisa ya sayang?".

Aku menghela napas.
Penyakit nenek kumat lagi. Dan aku anak semata wayang yang selalu diperlakukan istimewa. Padahal aku sudah semester 4 sekarang.

"Oke, Mah. Papah mamah hati-hati ya".

**

Jam 4 sore aku baru sampai rumah. Ku rebahkan tubuh lelahku di kamar seorang diri. Sepi juga rumah tanpa papah mamah.

Aku mendadak teringat mak Ijah. Nenek tua yang sudah kuanggap seperti nenekku sendiri.
Beliau berusia 75 tahunan yang tinggal jarak 6 rumah di belakang rumahku. Beliau sekarang tingal sendiri. Suaminya meninggal 10 tahunan lalu. Mak Ijah tidak dikaruniai anak.
Untuk itu mak Ijah pun sudah menganggapku seperti anaknya sendiri. Dari kecil aku suka dibawanya ke rumah untuk pengusir sedih.

Sudah pukul 10 malam. Aku tidak bisa tidur.
Takut juga aku tidur sendirian di rumah. Apalagi tidak jauh dari rumahku ada pekuburan warga. Dan tadi pas aku lewat, ada kuburan baru di sana.
Hih ngeri sekali aku membayangkan kalau kejadiannya seperti di film-film horor yang suka aku tonton.

Aku teringat mak Ijah. Kalau aku nginep di rumahnya malam ini, pasti mak Ijah senang.
Segera aku bawa selimut dan bergegas ke mak Ijah.

TOK TOK.

Ku ketuk pelan pintu mak Ijah. Hawatir mak Ijah sudah tidur.

TOK TOK.

"Mak? Sudah tidur? Ini aku Desi".

Krooeeet.

Mak Ijah membuka pintu. Alhamdulillah mak Ijah belum tidur.
Mak Ijah tersenyum.
Sorot matanya kentara sekali menandakan beliau rindu padaku.
Aku memang sudah lama tidak berkunjung ke mak Ijah karena aku pun sudah lumayan lama tidak pulang saat libur kuliah.

"Mak sehat?", aku menyalami beliau.

Beliau mengangguk.

"Masuk, Ndok".

Aku dan mak Ijah duduk di kursi rotan tua yang sedari aku kecil sudah ada.
Rumah mak Ijah tidak ada yang berubah.
Dindingnya masih pagar dan lantainya masih tanah.
Berada di rumah mak Ijah serasa berada di pedesaan nun jauh di sana.

Suami mak Ijah adalah penjaga kuburan. Di daerahku menyebutnya "Kemit Kuburan". Seseorang yang bertugas menjaga kebersihan kuburan dan membantu keperluan jika ada warga yang meninggal.

Aku menyebutnya "Abah".
Semenjak abah meninggal, mak Ijahlah yang menggantikan tugas beliau.
Tapi mak Ijah hanya bekerja sampai jam 2 siang. Sisanya, dilanjutkan oleh mang Kardim. Yang berjaga di kuburan sampai malam.

Setahunan lalu, aku mendengar isu dari mamah, bahwa ada yang sedang menjalani pesugihan.
Dia mencari kain kafan dari kuburan yang mayatnya meninggal saat masih perjaka atau perawan.
Aku heran, masih ada saja manusia yang menghalalkan segala cara demi agar terlihat mentereng kaya dan raya.

Pernah katanya suatu pagi, mak Ijah berteriak histeris saat mengetahui ada satu kuburan baru yang dibongkar. Mayatnya tergeletak begitu saja di dalam kuburan yang sudah menganga. Dan benar saja, ikat kepala pocongnya hilang.

KUMPULAN CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang