Chapter 8

240 41 22
                                    

Warning: terdapat adegan kekerasan di chapter ini, please be wise.

***

Tanggal 13 Desember, laporan orang hilang atas nama Moriuchi Takahiro akhirnya diterima; surat kerja telah dibuat; beberapa divisi kepolisian mulai mencari dan menyusuri jejak perginya Taka, tak ketinggalan riwayat panggilan dari nomornya.

Dari riwayat itu, ditemukan dua orang terakhir yang berkontak dengannya adalah aktor Sato Takeru dan sebuah nomor tidak dikenal. Tanpa diminta, Toru segera menghubungi sang aktor untuk mendapatkan petunjuk, namun yang ia dapat dengan susah payah karena Takeru bersikeras ingin ikut membantu mencari sang sahabat hanyalah Taka yang berada di bawah hujan salju pada pukul 5 pagi, setelah itu telepon putus karena mereka memang mengucapkan kalimat perpisahan. Tidak ada yang aneh.

Lain halnya dengan nomor tak dikenal itu. Nomor itu kini tidak bisa dilacak; kegiatan akhirnya hanya mengontak Taka, lalu nomor itu tidak lagi bersifat aktif; pemiliknya sudah menonaktifkannya. Sangat aneh, tentu. Namun, penyelidikan terhadap nomor itu buntu sampai di situ.

Melalui kamera pengawas di gedung agensi, para polisi hanya menemukan sosok Taka yang keluar gedung agensi. Setelah melewati pintu, semua kamera pengawas yang berpotensi mengarahkan mereka pada lokasi Taka telah dicat hitam, sehingga merekam pun tidak ada yang berarti. Sementara itu, kamera pengawas di stasiun tidak menunjukkan ada orang dewasa yang mengangkut orang lain dengan ciri-ciri seperti Taka.

Ketiga anggota One Ok Rock yang tengah berkumpul dan telah menerima kabar itu pun menjadi lebih murung dari kemarin; hal yang bagus hanyalah para polisi yang sudah mulai bergerak.

Sejak kemarin, Toru ketap mengawasi ponselnya setiap beberapa detik, berharap titik merah akan muncul tiba-tiba dan membawa mereka pada vokalisnya. Sayangnya, seperti yang ia duga, titik itu tidak kunjung muncul.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ryota, cemas melanda matanya yang menatap Toru.

"Tak ada, jangan lakukan apapun," tukas Tomoya tanpa memandang yang lain. "Kita serahkan semua pada polisi, jika pelacak Toru menemukan sesuatu, kita hanya perlu melaporkannya, sisanya biarkan polisi yang bekerja. Itu terlalu berbahaya."

Toru menatap Tomoya dengan pandangan tidak setuju. Sedari tadi pun sebenarnya, ia sudah hendak bergerak bersama para polisi, setidaknya agar langsung mengetahui kabar apapun yang terjadi. Namun, ia tidak bisa membawa serta kedua anggotanya ini; risikonya terlalu besar, sementara mereka punya keluarga yang menunggu di rumah. Tapi tetap saja, ia tidak bisa setuju dengan perkataan Tomoya.

"Jadi maksudmu kita hanya akan diam dan menunggu?"

"--dan berharap," sambung Tomoya.

"Tomoya--"

"Sudahlah, kalian berdua," lerai Ryota mengamit lengan sweater Toru ketika gitaris itu sudah bangkit; wajah Toru sudah merah padam hingga telinga karena marah. "Lebih tidak ada gunanya bertengkar, ok?"

Merasa Ryota benar, Toru menghempaskan tubuhnya kembali ke sofa dengan gerungan kesal dan mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia mengambil ponselnya dan memandang layar itu  penuh harap.

"Kita tidak bisa melakukan apapun sekarang, tapi aku yakin Takahiro pasti melakukan sesuatu."

***

Sayangnya, perkataan Tomoya sedikit melenceng.

Kala itu, Takahiro sudah setengah menyerah. Ia memeluk lututnya sambil bersandar ke bingkai kasur; kakinya sudah diborgol kembali; Jessie sudah pergi dari kamarnya setelah berkata akan kembali saat waktu makan siang. Meski sebelumnya Taka menantikan sesi tanya-jawab dengan Jessie, semangatnya kini pupus setelah mendengar Jessie berkomplot dengan Sam dan Albert. Apapun yang dijawab Jessie bisa saja benar, tetapi apa yang tidak dijawab wanita itu pun bisa jadi bukan karena tidak tahu seperti yang diungkapkan, tetapi karena tidak mau menjawab.

Toruka: Pulling Back [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang