Foreword

1K 97 60
                                    

Tanpa Min Kara ketahui, Tuhan selalu bekerja untuk membuat dunia ini seimbang.

—oOo—

            Kehidupan pada dasarnya sama saja. Bangun dengan rambut berantakan dan mata penuh kantung. Kesadaran yang belum sepenuhnya memenuhi isi kepala. Serta tubuh yang akan merasa lebih baik saat kau membuat sebuah gerakan peregangan. Jika bisa diibaratkan, Min Kara tak ubahnya seonggok boneka salju yang terjebak di dalam kristal kaca kuno peninggalan kakeknya sebelas tahun yang lalu. Apatis, rusak, usang, payah, dan mengeluarkan bunyi-bunyian nyaring yang kalau didengarkan di tengah malam nyaris menyamai suara hantu wanita.

Kara kelewat terbuai dengan dunianya sendiri. Ia bekerja paruh waktu di kedai kopi kecil dekat dengan perempatan jalan. Hanya memiliki satu teman seumur hidup yang juga bekerja di kedai yang sama; Kim Taehyung. Dirinya juga kerap membeli kosmetik dengan harga yang paling rendah—biasanya dijual bersama dengan koran-koran bekas bertanggal kuno (memiliki merek abal-abal dan diragukan kualitasnya). Tak lupa juga Kara memiliki hobi yang tidak baik untuk tubuh, yaitu; membeli sekotak kaki atau kepala ayam goreng dan menonton drama angst sampai larut malam.

Ibunya sering bilang begini, "jadi anak perempuan itu yang rajin. Membersihkan rumah atau membantu ibu menjahit baju milik tetangga saja susahnya bukan main. Bagaimana kau akan menjadi istri seseorang kelak? Sekarang cuci pakaianmu yang penuh saus sambal itu, Min Kara!"

Dan Kara hanya bisa mengerucutkan bibirnya kesal, meski akhirnya akan tetap bangkit dengan sedikit terpaksa dari atas kasur yang mulai berjamur akibat jarang terkena sinar matahari pagi. Kata ibu, kamar Kara mirip kandang babi. Dengan kotak makanan basi penuh lalat hijau yang bertumpuk di sudut ruangan, dan segunung baju kotor yang entah kapan akan Kara cuci.

Meski Kara selalu menggerutu kesal saat ibu memerintahkan sesuatu untuk dikerjakan—walaupun terkesan sedikit menjengkelkan—namun faktanya, Kara bukanlah gadis pembangkang. Namun andaikata gadis tersebut disuruh untuk membeli seikat kangkung atau satu kilogram ikan segar saja, sulitnya bukan main, dengan kata sangat yang berpangkat dua—sangat sangat sulit. Perlu sebuah dorongan ampuh agar gadis tersebut mau beranjak dari atas kasurnya; yaitu pukulan ajaib dari buku-buku jemari milik ibu. Namun, Kara tidak sebebal itu menjadi seorang anak. Gadis tersebut masih paham dengan baik prioritas-prioritas dirinya dan sang ibu yang dua tahun belakangan ini merangkap pula menjadi tulang punggung keluarga.

Ayahnya kembali ke sisi Tuhan dua tahun silam akibat kecelakaan tunggal pada jam setengah satu dini hari, tepat pada hari ulang tahunnya yang kedua puluh tiga tahun. Jadi, Kara dan Ibu hanya tinggal berdua, dengan harta seadanya, rumah berukuran delapan kali delapan meter, dan jauh dari kota.

Bukan lalu lalang kendaraan yang Kara jumpai setiap pagi, namun suara kerbau-kerbau kekar milik petani yang selalu setia menjadi alarmnya. Bukan pula gedung tinggi yang menjadi tempat orang-orang mencari penghasilan, tapi hamparan padi dan juga semburat merah di arah barat yang menjadi penanda pulang.

Ibunya yang berusia empat puluh lima tahun tidak pernah mengeluh saat mengantar rajutan seharga empat kantung beras ke kota. Kadangkala, ibu Min akan pergi selama tiga hari, satu minggu penuh atau bahkan lebih. Namun Min Kara tidak pernah memiliki sebuah pertanyaan tentang mengapa ibu pergi begitu lama, namun ada benarnya jika kalimat atau sebuah fakta mengejutkan itu memang hadir secara mendadak hingga membuat sakit kepala.

"Kenapa ibu selalu pulang terlambat akhir-akhir ini?" Satu minggu yang lalu, Kara bertanya pada ibu seraya menghancurkan biji-biji kenari di bawah naungan pohon kersen dengan ibu di sisi kiri, sembari sesekali mengusap helai surainya yang menutupi wajah dengan punggung tangan.

Step DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang