Biru Lucu

388 71 11
                                    

Selamat malam minggu! Aku bawain bahan halu lagi, hiyahiya. Ini bab 2 untuk Ijul. Di Storial aku juga naikin bab 4. 👍

 👍

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-

Selalu ada alasan bagi Resha untuk iri dengan orang di sekitarnya. Yah, pada dasarnya rumput tetangga memang lebih hijau. Apalagi kalau bicara soal Dimas. Dia punya ibu superkeren yang selalu mendukung—beda sekali dengan Ayah yang malah jadi tembok untuk Resha—punya sederet penghargaan dalam lomba bahasa Inggris, IPK selalu di atas 3.5, punya banyak kenalan dari tiap jurusan bahkan luar kampus, dan diisukan akan jadi calon ketua BEM FKK tahun depan.

Semua pencapaian itu kontras sekali dengan Resha, mahasiswa biasa yang lebih suka tidur daripada mengikuti unit kemahasiswaan atau lomba. Namun tak dipungkiri, dia bangga memiliki Dimas. Agaknya kedengaran agak posesif, tapi sejauh ini, hanya dia yang bisa membuat cowok itu meluangkan waktu sesibuk apa pun untuk mendengar keluh kesahnya. Tak jarang Dimas mampir lebih dulu ke kafe tempat Resha kerja part-time setelah jadwal prakteknya ke rumah sakit, untuk menjemput atau sekadar mengobrol santai.

Tak perlu status untuk menggambarkan kedekatan mereka. Selama Dimas bersikap seperti biasanya dan selalu ada untuknya, Resha tak perlu dilabeli sebagai sahabat atau pacar.

Atau setidaknya begitu yang dia pikirkan sebelumnya, sampai Dimas berganti status sebagai pacar orang. Dan itu berarti ada sosok 'pacar' yang menjadi prioritas Dimas sekarang. Seseorang yang sama sekali bukan dirinya.

Hari ini, untuk pertama kalinya Resha duduk sendirian di salah satu kursi duduk di lapangan, dekat parkiran setelah Dimas bilang punya janji makan bareng Tari. Tadinya dia diajak untuk ikut sekaligus bertemu dengan teman lamanya itu, tapi mengiakan tawaran Dimas kali ini rasanya seperti mendaftarkan diri sebagai nyamuk, setan, atau apalah istilah untuk menggambarkan orang ketiga. Pada akhirnya Resha menolak dengan alasan, "Gue mau di sini dulu deh, Dim. Cari inspirasi buat lomba."

"Oh, gitu? Oke deh. Good luck."

Tanpa basa-basi, Dimas langsung pergi setelah menyemangati Resha. Sebenarnya dia lebih suka kehadiran cowok itu bersamanya, tapi apa daya, dia sama sekali tidak punya hak, bukan? Tidak mungkin juga dia meminta pacar orang untuk menemaninya. Pelakor dan sejenisnya memang lagi tenar, tapi dia tidak berminat untuk jadi salah satunya.

Tapi kok Tari nggak cerita dia bakal ke sini? Kenapa nggak bilang lagi dekat sama Dimas? Kenapa nggak ....

Buru-buru Resha menggelengkan kepala. Terlalu banyak pertanyaan mengambang dalam kepalanya. Kali ini dia harus fokus. Yang perlu dia lakukan saat ini adalah mencari inspirasi untuk lomba desain poster. Memikirkan Dimas dan hubungan barunya tidak akan membuat Resha memenangkan lomba itu. Lagi pula, mencintai sahabat sendiri tidak masuk dalam kriteria penilaian.

Kan, mulai lagi. Resha menepuk kepala dan mengacak rambut pendek birunya. Duh, Sha, fokus! Yang diisi harusnya buku sketsa, bukan—

Dug!

Kepala Resha tiba-tiba dihantam keras. Bukan dari dalam, tapi luar. Begitu keras sampai punggungnya yang tegak langsung membungkuk. Tangan yang sebelumnya memegang buku sketsa spontan memegang kepala belakang, meringis merasakan nyeri. Satu bola basket kemudian mendarat di dekat kakinya.

"Aduh, Teh! Punten!" Terdengar teriakan dari belakangnya. "Sakit, nggak?"

"Harus banget ditanya?" Resha merutuk, tanpa sadar kemarahan dalam kepala dia teriakkan kuat-kuat. Ketika menoleh ke belakang, matanya menemukan cowok tinggi dengan kaus putih bergambar Buzz Lightyear, celana pendek, juga sepatu basket putih yang baru saja turun dari tangga dan sedang berjalan ke arahnya.

"Kan bukan saya yang kena bola basketnya, Teh," balasnya lagi, matanya memandangi Resha dari atas sampai bawah sembari berkedip beberapa kali. "Maaf banget. Teman saya lempar bolanya sampai jatuh ke sini. Kirain tadi nggak ada siapa-siapa di sini, cuman tiang yang atasnya ada plastik biru."

Resha seketika melotot. Dia dikira tiang? Ya ampun! Alasan itu juga tidak bisa jadi pembenaran. Lapangan basket cukup jauh dari tempatnya duduk. "Kalau main basket jangan di luar gini dong. Kepala saya bukan ring!"

"Ini juga kami mau ke lapangan basket kok, " kata cowok itu, tapi nada bicaranya masih santai, lebih terkesan bingung daripada membela diri. "Teteh juga ngapain sendiri di lapangan? Sudah mau jam 6, lho."

"Lapangannya buat umum, kan? Bukan punya kamu sendiri? Suka-suka saya dong, mau ngapain," balas Resha ketus.

"Berarti suka-suka kami juga dong, mau lempar-lemparan bola dekat sini?"

"Lemparnya nggak harus ke kepala saya juga!"

"Nggak sengaja, Teh. Serius ini mah."

Kepala Resha seperti makin pusing. Tak ingin berlama-lama, dia memunguti buku sketsa yang jatuh di rerumputan, menepuk-nepuk tanah yang menempel di permukaannya. "Terserah deh, saya mau cari inspirasi malah keganggu karena bola basket. Saya pindah."

Cowok itu ikut menunduk dan memungut bola basket, kemudian mendekat dan berdiri di hadapan Resha, membuatnya mendadak merasa terintimidasi karena tinggi mereka yang jauh berbeda—sebahu pun tidak sampai. Apalagi setelah diperhatikan baik-baik, wajahnya seperti familier, sekalipun dia tidak benar-benar ingat siapa persisnya. Kelihatannya cowok itu bahkan lebih tua dari Resha.

Tapi dia manggilnya pakai teteh gitu, kebiasaan atau gimana? Sopan juga ternyata orangnya.

Rasanya dia mau mengutuk diri sendiri karena terkesan dengan sosok di hadapannya ini. Yah, ganteng sih, tapi tetap saja menyebalkan. Kegantengan itu tidak akan memberinya benefit apa pun.

"Kepala Teteh gimana?" tanyanya lagi. "Masih sakit?"

"Malah makin sakit kalau diajak ngobrol terus," balas Resha tak acuh. Duh, rasanya sial sekali hari ini. Bukan hanya hati yang sakit, sekarang kepala ikut-ikutan.

"Ijul! Bolanya dapat nggak?" Teriakan lain terdengar dari arah tangga. Sekumpulan cowok terlihat di sana.

Namanya Ijul? Lucu juga.

"Sekali lagi maaf ya, Teh." Dia kembali bicara dan membungkuk kecil.

Sebenarnya Resha masih jengkel, tapi dia sendiri tak punya alasan untuk tetap marah. Dia juga sudah minta maaf dari tadi, pikirnya.

"Lain kali tolong hati-hati," kata Resha akhirnya, tetap dengan nada cuek.

"Tapi ...." Cowok itu kembali menoleh ke arah Resha, mengulas senyum. "Saran aja sih, kalau mau cari inspirasi jangan sendirian, Teh. Bisa-bisa bukan kemasukan ide, tapi roh gentayangan. Gosipnya di lapangan sini lumayan banyak. Saya kira tadi Teteh kesurupan sampai berantakin rambut sendiri."

Setelah kepalanya kena basket, sekarang dia dikira kemasukan setan? Yang benar saja!

Resha kontan melongo, tapi sosok tinggi itu justru pergi begitu saja sambil melambaikan tangan santai setelah berkata, "Omong-omong, saya suka rambut birunya Teteh. Lucu."

Sumpah, apa-apaan sih, cowok ini?! []

Fix Us Up (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang