Tujuh Puluh

4.4K 63 11
                                    

Ini sudah lewat 1 bulan dari kejadian penculikan itu dan semua terlihat kembali normal. Aku juga sudah lama kembali ke rumah kami. Walau selalu diawasi dan dijaga. Ke V. E pun hanya 2 kali seminggu, sisa nya aku di rumah saja. Bahkan profesi ku sebagai dosen harus rela aku lepas. Vian sangat protektif.

Sebenarnya teka teki penculikan, Jesicca dan Anthony masih menggantung dikepala ku. Hanya saja tadi pagi saat membereskan ruang kerja Vian. Untuk mengambil salah buku aku malah menemukan satu buku yang isinya hanya berupa kotak kosong ada pistol kecil dan sebuah foto foto mengerikan
Foto potongan kepala seorang pria yang aku kenal.
Bahkan saat ini masih mengisi kepala ku perut ku juga mulas mengingat bagaimana potongan kepala pria itu adalah  yang aku kenali dan dia paman nya Arland. Fotonya sangat nyata. Lagian tidak mungkin Vian menyimpan foto foto mengerikan seperti itu. Kan tapi kok bisa???

Dengan tangan begetar aku mencari kontak Arland. Rasanya ingin mengetahui apakah paman nya masih hidup atau tidak. Tapi sesaat aku diam menatap kontak Arland. Kalau aku menanyakan nya dan ternyata paman nya sudah meninggal. Aku harus bilang apa kalau ia menanyakan nya. Karena sangat aneh kalau aku tiba-tiba bertanya seperti itu. Tapi aku masih punya Elysa.
Elysa walau kepo dan banyak omong, dia masih bisa jaga rahasia.

Segera aku hubungi Elysa.

" Iya madam.. " Sahut Elysa kadang memanggil ku, ibu, nyonya, bahkan ratu dan ibu negara.

" Coba kamu cari tau tentang Joseph. Paman nya Arland. Dia.. Dia.. " Aku kebinguan sendiri bagaimana menjelaskan nya. Aku hanya melihat muka Om Joseph tapi tidak tau dia tinggal di mana dan bagaimana aku menjelaskan pada Elysa. Dia bukan Leo yang punya jiwa intel.

" Ga jadi! Apa boss tadi pagi rapat ? " Kataku mengalihkan topik.

" Iya bunda ratu. Raja tadi pagi saya liat rapat "

"Oh baiklah. "
Aku lalu memutuskan telepon.
Tangan ku masih mencengkram ponsel ku.
Kalau aku menelepon adik Arland. Takutnya nanti tante Rose akan mencari ku. Jadi bagaimana ini??

Lalu apa aku harus tanya ke Vian??
Rasanya tidak mungkin. Lebih tepat nya aku takut realita.

Telepon ku berbunyi. Ada nama Farrel disana. Adik ku. Tidak biasanya ia menghubungi ku. Apa salah pencet atau ada sesuatu terjadi??

Aku segera mengangkat nya.

" Hallo.. Kak... "
Suara nya agak berat dan terdengar takut.

" Ya ada apa Farel?? "

" Anu.. Hmm anu...
" Apa!!! " Desaknku sedikit cemas Farrel kenapa napa.
Bandel begitu ia sodara ku semata wayang.

" Hu hu.. Kak.. Jangan kasih tau papa. Apa kakak bisa ke sekolahan ku " Kata anak itu dengan suara merendah.

" Apa lagi yang kamu perbuat??" Tanya ku kali ini menebak ia baru melakukan hal berat disekolah.

" Aaagh bukan apa apa! Hanya.. Hanya hanya..

" Hanya apaaa! "

" Duuh kak Fayza jangan teriak dong, Farrel hanya terlibat kasus aja. Si Aida dan Marcella berkelahi karena rebutin Farrel... Jadi huhu..

Aku mengatur nafas dan mengurut pangkal hidung ku.
" Ngerebutin siapa? Ga salah dengar?? Ck. Farrel kamu... Mau jadi tuman!!!!" Teriak ku marah. Di sana Farrel ikut teriak kaget
"Aku akan kesana! " Kata ku kemudian.

" Yes! " Seru anak itu bikin aku hanya bisa meringis kesal.

Seperti biasa aku harus menghubungi Vian dulu. Dia minta nya Video Call biar lebih abdol.
" Vi.  Aku ke sekolahan Farrel ya. Dia di panggil sekolah. " Kataku menjelaskan sambil menata ringkas riasan ku.

One Night With A Pervert CousinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang