iv. terima kasih sudah peduli

534 135 4
                                    

[ eksistensi pelipur lara ]

⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀

⠀⠀
﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋
⠀⠀⠀

aku heran kenapa ada pemuda sebaik dia, sih? padahal nyatanya aku bukan apa-apa jika disandingkan dengan dia. tapi aku tau semesta selalu menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin dalam sekejap. bahkan semesta dengan sukarela di tiap malam menghadirkannya sebagai bunga tidurku kala aku terlelap.

setelah selesai berjalan-jalan di taman kota, dia mengajakku ke bioskop. katanya ada film action baru yang akan ditayangkan. aku menurut saja, toh seleraku dan dia soal film tak jauh berbeda.

sekarang aku sedang duduk menunggu dia yang sedang berada di kamar mandi. kakiku yang berbalut sepatu sneakers berwarna abu-abu mengetuk lantai dengan pelan, untuk mengusir rasa bosan. aku mendekap jaket denim yang ia titipkan padaku, hingga netraku tak sengaja bertubrukan dengan nametag yang terjahit rapi di bagian atas saku jaket.

Endaru Gentala.

aku tersenyum, dia punya kebiasaan unik memasang nametag di tiap-tiap jaketnya. dia bilang sudah ke sebelas kalinya dia membeli jaket baru, karena jaket-jaket kepunyaannya sebelumnya selalu hilang ataupun tertukar dengan jaket dengan motif atau warna sama, namun kualitas berbeda. ada-ada saja.

"maaf menunggu lama, tadi toiletnya antri panjang."

aku mendongak menatap dia yang berdiri dengan nafas terengah-engah. tersenyum pelan sebelum akhirnya menyuruhnya duduk di sampingku, "kamu habis lari-lari? lihat, nih keringatnya banyak banget."

dia menggaruk tengkuknya, "saya nggak mau kamu nunggu tambah lama, luna. apalagi saya tau kalau kamu nggak suka menunggu."

aku tak menggubrisnya, lebih memilih mengambil tisu yang selalu kubawa di tasku. aku berdecak, sudah kubilang, kan kalau dia terlalu baik padaku? sampai memikirkan untuk berlari dari toilet sampai kesini, padahal aku tau jaraknya lumayan jauh.

aku menyeka keringatnya. makin lama kehadirannya semakin membuatku merasa tidak enak. "harusnya kamu nggak perlu lari-lari, daru. lagipula filmnya masih lama mulainya. aku nggak apa-apa kok nunggu."

dia malah memberantakkan suraiku, lalu tertawa pelan. "terima kasih, luna."

aku mengernyitkan alis, "untuk apa?"

"terima kasih sudah peduli sama saya. saya senang."

﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋

﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋﹋

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
eksistensi pelipur lara, hendery ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang