Bab 3 - Bencana dan Kepergian

47 14 13
                                    

Sudah 3 tahun kepergian Alisia dari distrik 9, gadis itu sudah tumbuh menjadi remaja dan sebentar lagi akan menduduki bangku SMA

Semenjak kepindahannya dari distrik 9, Alisia tidak membuang waktunya untuk bersedih, dia yakin bahwa mereka akan bertemu lagi, sebab itu dia menghabiskan waktunya untuk meneliti iblis bersama sang ibu, dia berharap pekerjaan ibunya cepat selesai dan dia dapat pulang kembali ke kampung halamannya

Tapi na'as, nasib berkata lain

BREAKING NEWS
Serangan iblis meledak di Distrik 9, militer sudah dikerahkan ke Distrik tersebut sayang sekali mereka tidak bisa bertahan dari serangan iblis

Distrik 9 jatuh kedalam wilayah iblis, nama distrik 9 berubah menjadi red zone 9

Mata Alisia menatap horror ke layar TV yang menyugguhkan siaran langsung, ia dapat melihat gerombolan iblis yang menerobos masuk ke dalam permukiman manusia, seketika buku yang sedang digenggam olehnya terjatuh

"aku harus kembali" Alisia membalik badannya dan mulai melucuti jas lab yang ia kenakan

Ibunya yang juga ada saat itu tertegun sebentar ketika melihat berita yang ada dilayar kaca sebelum akhirnya terbangun dan menghentikan tindakan ceroboh anaknya

"mau kemana kamu? Kau tidak boleh kembali ke distrik 9"

Ibunya berkata lantang, tetapi Alisia berpura-pura tidak mendengar, ia masih sibuk menyusun kembali buku yang ia pakai ketempat semula

"kau dengar aku? Kau tidak boleh pergi"

Alisia selesai membereskan mejanya dan hendak meninggalkan ruangan, sang ibu langsung menahan anaknya yang sudah kehilanggan akal sehatnya

"apa kau sudah gila?? Memangnya apa yang bisa kau lakukan sesampainya disana??"

Ibunya mengguncang tubuh Alisia tetapi gadis itu seakan tidak mendengar sekelilingnya, dimatanya sekarang hanya ada ibunya yang berteriak dan suara siaran langsung televisi

Semua terjadi begitu cepat dan Alisia masih tidak bisa menghentikan hal seperti itu terjadi, padahal dia sudah berusaha keras untuk membantu ibunya dalam penelitian

"ahh... apakah penelitian ini menghasilkan sesuatu?" ucap Alisia melihat kearah televisi, ibunya tertegun

"aku setuju untuk ikut pindah kesini dengan harapan kita dapat mendapatkan terobosan untuk melawan iblis, dengan begitu aku dapat melindungi teman temanku"

Air mata yang tidak dapat lagi terbendung akhirnya keluar dan membasahi pipi merah Alisia

"Hea... Karin... Varuna... Varuna"

tidak ada kata-kata yang dapat menenangkannya saat itu, hanya pelukan yang menjadi penyokong kaki lemas Alisia, suara televisi diiringi dengan suara ratapan yang menggema didalam ruangan

Semenjak kejadian itu, Alisia menolak keluar dari kamarnya, semua mulai khawatir dengan kondisi Alisia yang semakin lama semakin memburuk, banyak dari mereka yang berusaha berbicara kepada Alisia, berharap gadis ini mau memakan sesuatu untuk kesehatan dirinya sendiri

"tolong tinggalkan aku sendiri" ucap Alisia dingin, suara serak selalu keluar dari bibirnya, mereka yang mendengarnya dapat mengetahui dalam sekali dengar bahwa anak ini tidak henti hentinya menangis

Profesor Zeline sudah tidak tahan lagi, dia tidak bisa membiarkan anaknya terus terusan seperti ini

"mau sampai kapan kau terus menangis? Meratapi kematian teman-temanmu?"

Suara ibunya terdengar kejam dan dingin, tetapi Alisia terlalu lemas untuk menjawab omelan dari Zeline, lebih tepatnya dia enggan menjawab perkataan ibunya

My HalfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang