Tahun ajaran baru saja akan di mulai. Besok adalah jadwal Ibran untuk menghadiri kegiatan MPLS sebagai panitia, tetapi sejak seminggu ke belakang ia malah menginap di rumah Alka. Setiap harinya ponsel pemuda itu selalu berdering setidaknya lima sampai sepuluh kali tiap empat jam. Ia sebenarnya muak dengan hal itu. Namun, mau bagaimana lagi, Ibran mau tak mau harus menghindar.
Pikiran Ibran salah saat mengira semuanya sudah berakhir. Nyatanya kini malah sebuah badai kembali menerjang. Rumah yang ia pikir akan menjadi tempat ternyaman untuk melepaskan lelah, justru membuat ia semakin muak dengan dunia. Takdir selalu mempermainkannya. Bahkan ia belum puas untuk mengecap apa itu yang namanya bahagia.
Pemuda kurus itu tidur terlentang dengan earphone yang tersumpal di telinga. Lagu berjudul To My Youth mengalun pelan mengisi indra pendengaran Ibran. Sudah tiga hari ini ia kecanduan dengan lagu tersebut. Alka saja sampai terheran-heran. Pasalnys Ibran bukanlah golongan manusia yang menaruh minat pada hal-hal yang bersangkutan dengan dunia entertainment atau musik.
"Udahan dulu kali, gak bosen apa nyetel lagu itu mulu?" tanya Alka. Ia tahu apa yang Ibran dengarkan karena cowok itu mengeraskan volume sampai maksimal. Mungkin saja berniat untuk merusak gendang telinga sendiri.
"Nggak," balasnya singkat. Tak terlalu memedulikan komentar dari Alka yang menurutnya tidak penting. Untuk apa juga ia harus mendengarkan ocehan Alka?
Alka memandang sahabatnya itu datar. "Sejak kapan lo jadi suka lagu Korea?"
"Sejak hidup gue jadi makin nggak jelas."
"Udahan dulu anjir. Itu hp lo dari tadi bunyi mulu, berisik! Silent aja kenapa, sih?" Alka menunjuk ponsel Ibran yang dibiarkan tergeletak di nakas. Sedangkan ponsel yang cowok itu gunakan untuk memutar lagu adalah ponsel Alka yang lama.
"Ya silent aja sana. Gue mager bangun."
"Ck!" decak Alka. Cowok itu benar-benar sangat terusik karena melihat Ibran tidak bersemangat. "Ayah lo, nih. Gue angkat, ya?"
"Terserah."
Dengusan keras Alka lontarkan sebagai alasan. Ia kemudian mengangkat benda berbentuk pipih itu ke dekat telinganya. Seraya berucap, "Halo, Om?"
"Oh iya, ini Ibran-nya ada. Oke saya kasih." Pemuda jangkung itu kemudian melempar ponsel Ibran kepada pemiliknya. Kini gantian Ibran yang balas mendecak. Dengan gelagat ogah-ogahan ia melepas earphone-nya. Kemudian menaruh ponsel di telinga.
Sesungguhnya Ibran tidak enak mengabaikan Vincent secara terus menerus. Pria itu bersikeras untuk membawanya kembali pulang, tetapi Ibran selalu menolak dengan alasan yang sama. Entah sampai kapan ia akan begini. Ia sendiri tidak tahu jawaban untuk itu.
"Apa?"
"Kamu nggak mau pulang? Ayah minta maaf. Tolong pulang dulu, sebentar aja."
"Buat apa pulang? Dengerin kalian berantem? Nggak mau. Males," ketus Ibran. Dalam beberapa detik matanya berubah berkaca-kaca. Alka sudah was-was karena Ibran masih dalam keadaan yang sensitif. Ia mengawasi Ibran secara saksama dari tempatnya.
Vincent terdengar mendesah lelah di seberang sana. Sementara itu Ibran bisa mendengar kalau Vincent mulai putus asa untuk mengajaknya kembali. "Kamu mau apa? Ayah cuma mau kamu kembali. Kita bisa perbaiki ini. Ayah janji."
"Perbaiki apa? Apa yang mau Ayah perbaiki? Apa masalah ini semudah itu buat Ayah?"
"Kamu pulang dulu. Nanti Ayah jelaskan di rumah. Bunda kamu juga sudah mulai mengerti. Sekarang giliran kamu, oke?" ujar Vincent masih gencar untuk membujuk Ibran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pathetic 2 ✓
Teen FictionMasih ingatkah kamu dengan sosok pemuda yang percaya bahwa hidupnya tidak bergantung pada perkataan orang lain? Di sini ia akan hidup di dunia baru. Dunia yang mungkin lebih baik ... atau mungkin juga lebih buruk dari yang pernah ia lalui.