Perkataan yang ia dengar dari Valen beberapa jam yang lalu hanya ia anggap angin lalu. Kini cowok itu malah nekat berdiri di bawah terik matahari dengan alasan memantau para calon siswa baru lebih dekat. Sudah berulang kali ia diperingatkan untuk tidak berdiri di sana, tetapi bukan Ibran namanya kalau langsung menurut.
Alka yang tadinya ada di kelas bahkan sampai mengekori Ibran karena kekeraskepalaan cowok itu. Ia sungguh tidak habis pikir mengapa Ibran sampai sebegitunya. Di tengah cuaca yang makin terik ini, Ibran sibuk memicingkan mata sambil mengamati objek yang memasang susah diamati jika ia berada lebih jauh dari sana. Di balik masker yang ia kenakan ada sebuah lengkungan tipis.
Tak sengaja Ibran berkontak mata dengan sosok yang ia tatap sejak tadi. Alih-alih tersenyum, Valen malah menajamkan tatapannya. Menunjukkan kalau ia tidak suka bertatapan dengan Ibran. Well, sepertinya bukan Ibran yang tidak menyukai Valen, tetapi sebaliknya.
Ibran menunduk sebentar karena pening di kepalanya mulai terasa menyiksa. Lalu tidak lebih dari dua detik, sebuah lengan besar merangkulnya dan menariknya ke belakang. Entah mengapa tubuhnya mendadak seperti jelly. Hampir saja mereka berdua terjatuh karena Ibran yang tak bisa berdiri tegak.
"Heh, bangsat, kalo pingsan gue tepak, ya!" pekik Alka. Ia mencoba membuat Ibran tegak kembali, tetapi gagal.
Akhirnya Esa dengan suka rela membantu Alka memapah Ibran yang tiba-tiba lemas tak bertenaga. Alka gemas karena Ibran membuat dirinya kembali khawatir. Ia kemudian segera membuka masker yang Ibran kenakan, Ibran langsung mendesah berat. Agaknya ia sedikit susah bernapas karena mengenakan benda tersebut. Alka semakin gemas saja.
Dibantu dengan Esa, Alka melonggarkan pakaian yang Ibran kenakan sekaligus memastikan kalau cowok itu masih dalam keadaan sadar. Dokter jaga di sana langsung menghambur ke Ibran. Dokter laki-laki yang tampak sudah tak asing dengan Ibran itu memeriksa Ibran dengan saksama.
"Panas-panasan, ya, kamu?" ujar Dokter Ares dengan pandangan yang tak enak. Dokter itu lantas menyentil pelan dahi Ibran. "Sudah berapa kali saya bilang, kalau cuaca terik begini yang sehat aja bisa pingsan, gimana kamu? Masih nggak mau denger juga?"
"Maaf, Dok," ujar Ibran lirih. Sambil mengukir sebuah senyum tak berdosa di wajahnya.
"Marahin aja, Dok! Gak tau apa temennya panik setengah mati," sambar Alka kesal.
Ibran tertawa kecil. "Yang penting gue nggak kenapa-napa, sih. Ribet amat lo."
"Nggak tau apa lo, tuh, berat!" timpal Alka.
Ibran baru saja menyanggah perkataan Alka, tetapi ranjang di sebelahnya mendadak ramai. Ia mengerutkan dahi dan menahan anggota PMR yang hendak menutup tirai penyekat di antara mereka. Anggota PMR itu tampak bingung, tetapi Alka memberikan isyarat agar membiarkan tirai itu tetap terbuka.
Pemuda tinggi yang berbaring di sebelahnya itu adalah Valen. Kerutan dalam tercetak di dahi Ibran. Ia hendak bangkit dan mengecek keadaan cowok itu, tetapi ditahan oleh Alka. Karena tak mau memancing keributan dan karena ia juga masih belum terlalu bertenaga untuk bertengkar dengan Alka, akhirnya ia menurut. Tetap memandang Valen dari ranjangnya.
Ia sedikit khawatir karena Valen kelihatan tidak baik. Butuh waktu beberapa lama sebelum cowok itu kembali membuka mata dengan pandangan yang begitu sayu. Ibran sedikit bisa bernapas lega. Ia lantas mengubah posisinya menjadi duduk. Sedikit bersandar ke dinding.
"Noh, liat, dia yang begitu aja pingsan. Gimana lo, anjing?" kata Alka sambil menoyor kepala Ibran.
"Iya, sih. Tapi apa gara-gara dia dehidrasi juga, ya? Gue perhatiin dia nggak makan atau minum sama sekali," cetus Ibran sambil memerhatikan Valen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pathetic 2 ✓
Novela JuvenilMasih ingatkah kamu dengan sosok pemuda yang percaya bahwa hidupnya tidak bergantung pada perkataan orang lain? Di sini ia akan hidup di dunia baru. Dunia yang mungkin lebih baik ... atau mungkin juga lebih buruk dari yang pernah ia lalui.