"Kenapa baru bilang sekarang, sih?!"
Kemurkaan itu menjadi sambutan untuk Ibran sesampainya di parkiran. Alka yang sebenarnya tidak galak sama sekali, hari ini tampak menyeramkan. Bahkan di mata Ibran sendiri. Entah keputusannya bercerita soal video itu adalah benar atau salah. Kini yang harus ia lakukan adalah menjelaskan lebih jelas lagi agar Alka tidak melampiaskan kemurkaannya ke orang lain.
"Gue kira lo udah tau," jawab Ibran. Ini hari terakhir MPLS setelah kemarin ia hanya diam di dalam kelas karena ditentang keras oleh Alka. "Lagian, kesebarnya cuma di angkatan kita aja kok."
"Bisa, ya, lo bilang kayak gitu? Otak lo di mana sih, bangsat? Itu privasi, tolol! Lo punya hak buat marah dan kalo perlu laporin mereka karena nyebarin video nggak jelas tanpa sepengetahuan yang bersangkutan, dan di sini yang bersangkutan itu elo. Sumpah, goblok banget!
Jari Ibran saling bertautan satu sama lain. Kalau reaksi Alka saja begini, mungkin kalau anggota keluarganya yang lain tahu, mereka akan langsung mengambil tindakan tegas tanpa mau mendengarkan Alka. Sebuah helaan napas panjang terlontar berat.
"Pantesan aja kemaren tuh pada banyak yang ngeliatin lo. Ternyata!" timpal Alka. Cowok itu menggeleng.
"Nggak pa-pa. Nanti gue minta sama mereka buat hapus videonya," balas Ibran seolah tak ada beban. Bukannya ia tak peduli soal masalah ini, tetapi ia harus lebih tenang agar bisa menemukan jalan terbaik dari masalah ini. Video itu sudah tersebar ke satu angkatan dan mungkin jika tidak segera ditarik maka video itu akan menyebar lebih luas dalam kurun waktu yang singkat.
"Lo mau apa? Emangnya lo bisa apa, ha?" Alis Alka terangkat. Sorot mata tegasnya itu membuat Ibran merasa tak nyaman. Alka tidak pernah membiarkan ia melakukan sesuatu sendiri.
Ibran membasahi bibirnya. Kemudian menyerongkan badan agar bisa berhadapan dengan Alka. "Lo kok jadi ngeremehin gue gitu, sih?"
"Udahlah. Biar gue aja yang urus. Lo tinggal tunggu beres aja."
"Maksud lo? Nggak, nggak usah. Gue bisa sendiri. Lo nggak perlu repot-repot," ujar Ibran dengan alis menyatu. Tak setuju dengan ucapan Alka.
"Ck, lo tinggal diem dan tunggu kelar aja!"
"Ini masalah gue. Gue mau selesain masalah ini sendiri. Jangan remehin gue!"
"Gue bukannya ngeremehin lo, tapi sebaiknya lo diem aja selagi gue masih bisa ngurus itu. Gue cuma mau bantuin lo."
"Gue nggak butuh bantuan lo kali ini. Gue mau nyelesain masalah gue sendiri. Gue nggak mau jadi ketergantungan sam lo. Dan gue harap lo ngerti, jadi biarin gue."
"Kalo masalah lo akhirnya nggak selesai?"
"Harus selesai," ucapnya pasti. Ia memiliki tekad kuat untuk menyelesaikan masalah ini sendiri. Terlebih ia sudah tahu siapa dalang di balik masalah ini. Ia tidak mau menyebabkan keributan, tidak untuk masalah ini.
"Gue ulangin sekali lagi, lebih baik gue aja yang urus ini. Lo 'kan harus banyak istirahat. Jangan buang-buang tenaga cuma buat hal kayak gini. Tolong, lo ngerti 'kan keadaan lo gimana?"
Alka masih belum bisa membiarkan Ibran untuk menyelesaikan masalah ini sendiri. Ia khawatir Ibran malah menjerumuskan diri sendiri ke dalam neraka buatan para manusia jahanam. Baik ia maupun Ibran tidak tahu bagaimana masalah ini akan berjalan nantinya. Entah apakah bisa selesai melalui jalan damai.
"Nggak. Gue tetep mau nyelesain masalah ini sendiri. Dan gue nggak mau lo bocorin masalah ini ke keluarga gue. Gue nggak mau orang-orang nganggep gue selama ini cuma berlindung di balik lo dan nama besar keluarga gue. Gue mau buktiin kalo anggapan mereka itu nggak bener."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pathetic 2 ✓
Teen FictionMasih ingatkah kamu dengan sosok pemuda yang percaya bahwa hidupnya tidak bergantung pada perkataan orang lain? Di sini ia akan hidup di dunia baru. Dunia yang mungkin lebih baik ... atau mungkin juga lebih buruk dari yang pernah ia lalui.