"Jangan digeplak mulu, hish! Sakit!" protes Ibran akibat kepalanya menjadi target kekerasan Alka. Ia mendengus sambil melempar death glare pada cowok jangkung itu. Alka yang merasa tak bersalah lantas membalas dengan wajah yang super duper datar.
Selagi mereka bertengkar, Esa sebagai penonton hanya kebagian untuk tertawa. Ia dengar dari Alka kalau tadi pagi mereka bertengkar, tetapi tak sampai sejam kemudian Alka langsung putar haluan dan kembali menjadi tameng untuk cowok itu. Ia pikir persahabat mereka memang benar-benar sekuat itu. Esa iri melihatnya. Andai ia sebaik Ibran, mungkin akan ada seseorang seperti Alka di sampingnya.
Alka hampir membuat Gerald babak belur, tetapi Ibran segera menarik cowok itu mundur dengan segenap tenaganya. Alhasil Alka mundur dengan berat hati dan tetap memaki Gerald sampai di luar kelas. Berita perkelahian mereka sudah sampai ke telinga guru BK dan mereka ditunggu di ruang BK saat jam pulang nanti. Alka biasa-biasa saja karena ia merasa tindakannya tidak salah. Namun, Ibran gelisah bukan main. Ia tidak mau keluarganya tahu soal kejadian ini.
"Sumpah, lo tuh pinter, tapi kalo ada masalah otaknya sama sekali nggak pernah dipake!" sungut Alka.
"Apa, sih?!"
"Lo yang apa, bangsat!"
"Tadi ngapain coba pake gebukin si Gerald? Nanti kalo lo balik digebukin sam si Gerald gimana, hah? Lo––"
"Berisik!" sela Alka tanpa basa-basi.
Ibran merengut. "Gue 'kan udah bilang, gue bakal nyelesain masalah ini sendiri. Kenapa lo nggak bisa percaya sama gue sih?" katanya sambil menatap Alka serius. Sepasang netra teduh pemuda itu memusatkan atensi pada kelereng hitam nan tegas milik Alka. Menguncinya agar Alka tidak bisa berkelit.
"Gue bukannya nggak percaya, cuma gue tau kalo lo nekat berhadapan sama Gerald sendirian, malah lo yang dijadiin bulan-bulanan. Lo suka dijadiin bahan ketawaan kayak tadi? Gue enggak, Bran. Gue nggak suka temen gue digituin."
Dalam. Kata-katanya begitu dalam sampai bibir Ibran dibuat bungkam seribu bahasa. Hanya pandangannya yang masih lurus, bergeming menatap Alka. Ia tahu Alka berniat baik, tetapi Ibran juga ingin mencoba sesuatu sendiri. Selama ini karena kondisinya ia terpaksa harus banyak merepotkan orang lain. Setidaknya ia harus sedikit belajar untuk tidak lagi bergantung pada siapa pun.
Sejenak Ibran menurunkan pandangannya sambil membasahi bibir. "Gue enggak mau ngerepotin lo, Ka. Selama ini gue banyak ngerepotin lo. Gue cuma takut suatu saat nanti lo bakal muak karen terus-terusan gue repotin. Jadi, seenggaknya kalo hal itu terjadi gue udah ada persiapan. Gue ngelakuin ini karena itu."
"Ngerepotin apa, sih? Kita temenan nggak baru setahun dua tahun, Bran. Kita temenan udah dari kita berdua sama-sama susah. Dulu juga gue ngerasa ngerepotin lo karena harus temenan sama anak yang nggak bisa apa-apa kalo di-bully sama anak lain. Tapi sekarang gue bisa, dan gue enggak mau ngerepotin lo lagi. Gue mau bikin hidup lo lebih nyaman karena ada gue. Lo ngerti, 'kan? Kalo gitu anggap aja kita impas. Oke?"
Segaris senyum tercetak di bibir Ibran. Matanya berkaca-kaca beriringan dengan tangannya yang bergerak memberikan pukulan kecil pada bahu Alka. Akhir-akhir ini Ibran terlalu banyak pikiran hingga memikirkan semuanya dengan serius. Ia jadi tidak enak pada Alka.
Sementara itu, Esa yang sedari tadi menjadi penyimak hanya mengulas senyum. Ikut hanyut ke dalam kehangatan yang terbentuk dari sepasang sahabat karib itu. Ah, ia benar-benar mendambakan hubungan persabatan seperti mereka.
"Oh iya, lo tau nggak? Tadi yang ngasih tau gue kalo lo dibawa sama Gerald tuh adek baru lo," kata Alka mengganti topik pembicaraan. Menyingkirkan kecanggungan yang mungkin akan datang kalau mereka terus diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pathetic 2 ✓
Novela JuvenilMasih ingatkah kamu dengan sosok pemuda yang percaya bahwa hidupnya tidak bergantung pada perkataan orang lain? Di sini ia akan hidup di dunia baru. Dunia yang mungkin lebih baik ... atau mungkin juga lebih buruk dari yang pernah ia lalui.