[discontinued, maybe]
Kulihat aku meracau di sisi kasur, menggaruk-garuk dinding, dan melayang. Kupikir saat itu, ada sosok hantu yang mengangkatku terbang. Tetapi di kamar ini, hanya ada aku dan aku yang mati.
Croire Cluster Project!
Tehnya disajikan panas. Mengepul. Mendesah lewat celah-celah teko yang porselen. Soobin tergugup. Ini cangkir teh yang rapuh dan ketakutan, seperti Choi Soobin.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku enggak bisa bicara, padahal aku punya mulut. Aku enggak bisa bicara, padahal semua organ yang bisa buatku bicara masih bekerja dengan baik. Aku enggak bisa bicara, padahal suaraku mau-mau saja keluar dari peraduannya. Aku cuma bisa berbisik kecil; aku bisa berbisik kecil, kecil sekali.
Aku masih enggak bisa bicara ketika mendengar suara ibuku yang memanggil, "Soobin. Choi Soobin," bersamaan dengan derit pintu besi kecil (sangat kecil sehingga aku enggak bisa melewatinya) yang dibuka. Sebuah nampan didorong ke dalam kubus ini. Di atasnya, terdapat perlengkapan minum teh termasuk cangkir, teko panas, sendok teh, juga sekotak gula kubus. Semua ini untukku. Disediakan buatku. Meski ingin menolak pun, aku enggak bisa melewatkan tea time ini karena hanya ini satu-satunya yang diberikan padaku sebagai bahan konsumsi. Setidaknya, begitu yang kutahu.
Benar. Hanya sekotak gula kubus dan seteko teh panas yang kukonsumsi sejak beberapa minggu terakhir ini.
Ketika pintu kecil itu ditutup, aku lekas merangkak menuju nampan yang enggak begitu kelihatan wujudnya. (Di sini gelap, sejendela pun enggak ada ataupun celah supaya cahaya bisa masuk. Aku benci gelap.) Aku menariknya, mendekatkannya dengan kasur lantai, alasku duduk sedari tadi. Tanganku bergerak menuang teh panas ke cangkir teh kosong yang tadinya terbalik. Aku juga enggak lupa untuk menambahkan gula ke dalamnya.
Ini adalah sebuah rutinitas.
Aku yang bicara-dalam-bisik sendiri ini juga adalah sebuah rutinitas.
Lidahku menyentuh seduhan daun teh yang masih hangat. Tehnya ringan dan wangi. Sesaat, aku lupa kalau aku berada di dalam sebuah kubus hitam tanpa cahaya. Tapi itu enggak berjalan lama, sebab lidahku mendapati tekstur aneh ketika kembali menyesap dari cangkir teh.
Itu bergerak. Tekstur yang tadi kubilang aneh itu bergerak, jadi aku segera memuntahkannya dari mulutku. Aku segera memaku atensi pada cangkir teh dan mendapati adanya semut-semut hitam yang teraduk di dalam teh.
Aku segera membuka teko yang diisi teh. Uap mengepul dari dalam, menabrak wajahku ketika keluar. Tapi, di antara keremangan ini, aku dapat melihat bahwa enggak ada seekor semut pun yang menyentuh isi teko. Itu bersih. Kemudian, aku membuka kotak gula kubus yang ada di pojok nampan.
Tenggorokanku tercekat. Wangi teh yang tadi mampir di hidungku hilang, digantikan oleh bau busuk yang datangnya dari ... entah dari mana. Mungkin baunya datang dari kotak itu, tapi otakku enggak cukup lurus untuk berpikir apa-apa sekarang. (Memangnya otakku pernah berjalan dengan benar?) Tapi, yang pasti, semut-semut yang ada di cangkir tehku ini datang dari kotak ini. Di dalamnya, bersarang semut-semut sebesar kuku jari kelingking, merangkak di atas kubus-kubus gula. Tapi kemudian mereka keluar, berjalan di atas tanganku.
Satu demi satu semut berjalan mendekat ke wajahku. Aku enggak bisa menyingkirkan mereka semua meski sudah berguling-guling di atas lantai. Aku berhenti berguling 'nggak lama setelahnya; tubuhku mendadak kaku. Semut-semut itu berhasil masuk lewat telingaku.
Kelapaku seketika sakit. Aku memejamkan mata dan kemudian terbangun dengan keadaan basah kuyup. Ainku mendapati atap-atap unit apartemenku yang ditumbuhi jamur dinding.