Kupu-kupu terbang melewati gelas yang Soobin siapkan. Dia memercikkan serbuk sari yang tipis, tipis sekali, hingga baunya harum. Soobin kini bisa bernapas lega (atau justru tidak).
Aku bergegas pakaikan baju pada tubuhku sendiri. Aku masih berkeringat, menetes enggak kenal henti meski pendingin ruangan sudah menyala sejak tadi.
Tanganku mencoba untuk menggapai kacamata di rak atas ketika tiba-tiba buku-buku jatuh di atas wajahku. Aku terjatuh. Kepalaku yang sedari tadi pening, kini makin pening. Ditambah lagi, pangkal hidungku berkedut-kedut akibat bertabrakan dengan pinggiran buku. Kemudian aku berdiri, hendak membasuh wajah ketika tiba-tiba suara bel masuk tanpa permisi ke gendang telinga. Kai dan seseorang lainnya (aku bisa melihat bayangannya lewat layar interkom) masih ada di balik pintu. Menungguku, sambil menekan bel berulang kali.
Dengan getaran pada tangan, aku membuka pintu. Mataku seketika mendapati presensi Kai dan Beomgyu yang berdiri di depanku. Keduanya menatapku ceria sambil mengangkat plastik nan kuyakini berisi camilan. Mereka terlihat jauh lebih sehat dibanding aku (tadi aku mengecek penampilanku di cermin) yang sudah enggak tidur dengan nyenyak selama berhari-hari. Aku yakin, seratus persen yakin, cermin malas berbohong ketika menunjukkan dua kantung mataku menghitam.
Oh, lihat itu. Lihat senyum mereka yang merekah-rekah itu.
Aku memalingkan wajah. Mataku tiba-tiba perih, seperti digigit serangga atau semacamnya, aku enggak tahu. Tetapi, kurasa, pupilku sudah rusak sebab aku tiba-tiba melihat semua hal menjadi hitam-putih, termasuk wajah Kai dan Beomgyu.
"Kak Soobin, Kakak oke?"
Kulihat Kai mendekatkan dirinya padaku. Aku memalingkan wajah lagi sambil memijat pangkal hidungku yang nyeri. Aku berjalan ke arah sofa, lantas duduk di atasnya. Aku sakit, barangkali. Tapi, Kai nggak perlu tahu. Beomgyu apalagi.
Aku mendadak berharap jadi bisu. Aku melirik Beomgyu dan Kai yang kini terduduk di depanku, cuma berjarak meja kecil saja. Hidungku gatal setengah mati, tetapi tanganku bahkan terlalu malas untuk terangkat dan menggaruk. Aku mengedipkan mata yang sedikit berair, sepertinya ada bulu mata yang masuk di sudut mataku. "Aku baik-baik saja. Cuma ... beberapa masalah. Bukan masalah besar." Aku terdiam sejenak, menatap Kai dan Beomgyu yang diam. "Akan kubawakan susu kedelai. Kalian tunggu di sini."
Dapur sebenarnya nggak begitu jauh dari ruang tamu. Itu sebabnya, aku masih bisa mendengar ketika tiba-tiba salah satu anak itu berbicara (aku tahu, itu Beomgyu), "Kak Soobin sepertinya kurang sehat. Telinganya merah dan mengepul."
"Kurasa memang begitu. Apakah aku harus memanggil dokter? Tapi, Kak Soobin enggak suka diperiksa dokter. Kak Beom, menurutmu bagaimana?"
"Kita panggil saja."
Aku terkesiap; kesadaranku kembali. Tatkala melihat ke gelas susu kedelai untuk Kai dan Beomgyu, aku mendapati setumpuk bubuk putih yang menggunung di atas permukaan susu, lama-lama larut dan menyatu dengan susu kedelai mereka. Dan tanganku berkeringat lagi. Di dalam genggamannya, ada kertas dengan sisa bubuk di lipatannya.
Bukan. Bukan aku yang melakukan ini.
Mataku bergetar, sedangkan harapanku tadi menjadi nyata tiba-tiba: aku membisu, enggak bisa bicara. Detik berikutnya, susu kedelai yang ada di gelas sudah berpindah ke dalam kerongkongan Kai dan Beomgyu. Aku terdiam menyaksikan mereka meminum isi gelas itu. Menenggaknya hingga habis.
Tenggorokanku perih. Tanganku terpaku di sisi tubuh, enggak bisa bergerak. Aku bagai patung. Atau boneka peti mati yang kecil dan enggak berdaya. Terduduk di sofa, aku melihat mereka yang tertidur di atas sofaku dengan damai, kecuali kenyataan bahwa mata mereka enggak tertutup.
Kai dan Beomgyu sudah pergi dari rumahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Geist
Fanfiction[discontinued, maybe] Kulihat aku meracau di sisi kasur, menggaruk-garuk dinding, dan melayang. Kupikir saat itu, ada sosok hantu yang mengangkatku terbang. Tetapi di kamar ini, hanya ada aku dan aku yang mati. Croire Cluster Project!