4. der See

134 22 6
                                    

Langit bakal selalu congkak di atas, dan air bakal selalu terjerat di bawah. Soobin pikir begitu. Jadi, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya ketika air danau meluap, menelan Soobin hidup-hidup.

 Jadi, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya ketika air danau meluap, menelan Soobin hidup-hidup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mataku memburam, sedangkan otot kakiku berkedut dan gatal. Aku mendengar suara cicak, menggema ke seluruh ruangan berbentuk kubus, sedangkan suaraku enggak keluar. Aku seperti cicak yang terjepit pintu; cicak itu seperti aku yang mendengkur dalam tidur. Kami seperti bertukar peran.

Aku bisu. Sejak tadi. Sejak terbangun dan mendapati diri kita terperangkap dalam kubus dadu yang enggak dikocok. Aku bisu, seperti hantu. Suara yang bisa kubuat, cuma kertuk gigi yang menggeletuk di dalam mulutku yang masam diisi lapisan jus asam. Menggigit pipi bagian dalamku, aku enggak merasa sakit meski berdarah (aku yakin itu mengeluarkan darah, aku bisa merasakannya). Aku merasa seperti anjing. Liar, tapi terperangkap dalam penjara.

Aku memuntahkan darah yang ada di mulutku. Tapi aku enggak bisa melihat genangannya, soalnya ruangan ini begitu gelap, seperti gua pada malam hari. Tapi ini adalah sebuah kubus, bukan gua.

Tapi aku merasa basah. Apakah aku memuntahkan darah pada telapak kakiku? Apakah aku tak sengaja menjatuhkan liur pada punggung kakiku?

Enggak, kurasa.

Tanganku bergerak, meraba-raba lantai yang dingin. Dan air sudah membanjir, pelan-pelan, menelan telapak kakiku. Dia bergerak ke segala penjuru, membasahi kita, menelanjangi kita. Bergerak seperti ular yang menelanku. Suara cicak digantikan oleh air yang pelan-pelan mengular ke kakiku. (Cicaknya hilang, tetapi aku tetap bisu.) Dia masuk dari cela-cela pintu besi yang tertutup. Masuk pelan-pelan. Aku enggak bisa lihat dengan jelas.

Air terciprat ke wajahku ketika aku menggerakkan tanganku. Sekarang, air sudah sampai ke bawah perutku ketika aku berdiri dan terus bertambah. Bertambah. Bertambah. Bertambah. Dan menelan kita. Aku mulai enggak bisa bernapas. Air sudah membasahi dadaku. Aku sudah sulit bergerak, airnya memberati tubuhku.

Aku enggak mau bersikap panik, tapi aku akan benar-benar mati sekarang entah karena kehabisan oksigen duluan atau karena tenggelam dalam kubus dadu ini. Airnya tenang, tapi aku panik. Airnya tenang, tapi tanganku enggak bisa cuma tenang di sisi tubuh. Aku berenang, mencoba untuk lebih ke atas. Tapi kubus ini nggak sebegitu tinggi. Dan aku tenggelam. Tenggelam dalam danau yang mengular.

Aku makib enggak bisa napas. Aku makin mati. Wajahku sudah mencium di langit-langit kubus, menempel seperti cicak yang tadi berbunyi. Dan air sudah mencapai leherku, lagi-lagi menelanjangi kita. Aku mau muntah. Muntah darah barangkali. Tapi air enggak akan membawa muntahanku pergi. Aku mual dan pusing dan makin mati.

Air sudah mencapai setengah wajahku.

Aku enggak akan bisa lagi berbisik-bisik.

Tolong. Tolong aku.

Air sudah memasuki telingaku, menginvasi gendangnya seperti makhluk baru.

Dan aku telanjur muntah. Muntah di wajahku sendiri ketika air sudah menelan hidungku. Rasanya perih, sepertinya air yang dingin itu sudah masuk ke otakku.

Aku menutup mata, sudah makin mati.

Dan ketika membuka mata, air danau sudah enggak meluap. Yang ada cuma aku, sepasang baju tidur yang basah, dan kegelapan. Yang ada cuma kita, yang sudah ditelanjangi dan ditelan hidup-hidup oleh air danau nan mengular.

Tolong aku.

Kenapa aku enggak lekas terbangun?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GeistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang