Suaranya memekakkan telinga Soobin yang cuma dua. Lalu, dia memanggil-manggil Soobin dengan pelan. Tiba-tiba, suara teve hilang bersamaan dengan datangnya kuriositas.
Aku sudah enggak tidur selama berminggu-minggu. 'Nggak. Bukan hanya tidur. Aku bahkan sulit menutup mata selama sejak pertama kali aku bermimpi. Ini sulit.
Mataku terpaku pada layar televisi yang terang menyalak, sedang tubuhku berusaha untuk tetap rileks di atas sofa. Sepertinya antenanya rusak lagi, layarnya jadi enggak jelas. Volume teve sendiri kupasang sangat pelan sampai-sampai aku nyaris enggak bisa mendengar apapun darinya selain tawa-tawa pembawa acara.
Mataku terkantuk-kantuk. Sejujurnya, aku rindu tidur. Tetapi, sekali lagi, setiap aku menutup mata, aku selalu berada di mimpi yang buruk. Aku takut. Kalau begini terus, aku bisa saja tidur dengan mata terbuka di kalau tahu bagaimana caranya.
Aku masih memperhatikan nyalanya televisi ketika tiba-tiba terang di kamarku menghilang. Tevenya tiba-tiba mati, sedangkan aku mendapati diriku terperangkap di dalam kubus hitam yang bercela kecil sekali. Suasananya masih sama, masih mencekam. Aku merinding. Aku tergugup. Aku ingin menangis setelah mendapati diriku yang meski berusaha untuk terus buka mata, tetap terperangkap di sini. Ini seperti jebakan. Dan aku terjebak seperti seekor tikus bodoh.
Ketika aku yang masih tergugup menggigit kuku, pintu besi kecil itu sekonyong-konyong berderit dan terbuka. Cahaya yang berbentuk seperti pintu itu merangsek masuk, menyinari wajahku yang terduduk di lantai; itu cahaya teve. Dari sana, dari luar sana, terdengar suara yang samar-samar. Suara seorang pembawa acara yang bikin muak.
"Kami akan mencari pelakunya. Kami akan menangkapnya secepatnya."
Suara dari teve bak bergurau di telingaku yang harapkan sepi. Tapi, suaranya lama-lama ciut dan jadi tidak ada. Suaranya hilang. Sudah enggak ada suara lagi selain suara degup jantungku yang tenang. Aku sendiri enggak tahu mengapa jantungku tenang-tenang saja.
Aku menghela napas perlahan, berusaha sekuat mungkin supaya enggak keluarkan suara yang berlebihan. Kutelan ludah di mulutku yang kering, lantas melirik cahaya yang datangnya dari luar pintu kecil, dari televisi yang masih menyala. Yang mati cuma suaranya, televisi di luar sana yang menghadap ke arah ruangan ini masih menyala. Cahayanya bagai membutakan mataku yang telanjang.
Otakku berpikir enggak karuan. Sepertinya, dia mulai rusak. Kaputt. Dan dengan otakku yang kaputt itu, aku yang bodoh merangkak mendekati sumber cahaya. Aku seperti anjing yang mengendus makanan enak. Bedanya, aku adalah anjing yang ketakutan. Aku adalah manusia yang bodoh, yang mendekati suatu ketidaknormalan.
Aku mengikuti jejak cahayanya, membelakangi bayanganku yang setia. Jaraknya memang enggak banyak, tapi waktu terasa lebih lambat. Ketika sudah sampai di depan pintu kecil, aku menundukkan kepala, mendekatkannya pada pintu kecil nan terbuka itu. Aku memosisikan mataku, dan seketika, dua wajah yang kucurkan darah muncul di depan mataku.
"KAMI AKAN MEMBALAS PERBUATANMU."
Suara teriakan masuk ke gendang telingaku. Aku terlontar ke belakang. Jantungku berdegup kencang. Jiwaku diisap dari cangkangnya. Dan aku enggak bisa menghilangkan wajah dua orang itu dari otakku.
Petir menyambar. Mataku terbuka dan mendapati televisi yang masih menyala di depanku. Aku yang terduduk di sofa, basah kuyup. Bibirku kering dan jantungku masih mendegup gila bagai 'nggak ada hari esok.
Ketika aku hendak bangkit untuk mencuci muka, dering ponsel menyibak keheningan di ruang ini. Aku segera mencari ponselku dan mengangkat telepon yang masuk.
"Halo, Kai .... Iya, datang saja .... Ah, 'nggak. Aku baik-baik saja. Hanya kurang tidur .... Nanti, kalau sudah sampai, telepon aku lagi .... Oke. Hati-hati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Geist
Fanfic[discontinued, maybe] Kulihat aku meracau di sisi kasur, menggaruk-garuk dinding, dan melayang. Kupikir saat itu, ada sosok hantu yang mengangkatku terbang. Tetapi di kamar ini, hanya ada aku dan aku yang mati. Croire Cluster Project!