1: Luka Yang Nyata

112 5 0
                                    

Jika sebuah pilihan itu kodratnya untuk dipilih, mengapa harus dijelaskan?

-o0o-


"Bagaimana aku mendefinisikan luka, begitulah aku mendefinisikanmu."

-o0o-

        "Ma, tapi Naira gak mau dijodohin sama Adam." Ucap seorang wanita dengan penuh tangis di wajahnya. Wanita yang masih terbilang masih muda, kini harus menghabisi masa mudanya dengan menikah.

       "Nak, ini demi papa. Hutang papa kamu akan lunas jika kamu menikah dengan anak Pak Setyo." Jawab ibunya dengan nada lirih. Perjodohan ini karena adanya hutang, dan Naira sangat benci dengan perjodohan ini. Seharusnya, di usia yang masih terbilang muda ini, Naira seharusnya mengejar impiannya, bukan menikah muda apalagi dengan lelaki yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

       "Jadi papa sama mama relain Naira demi hutang papa lunas? Mama sama papa jahat." Naira membanting pintu kamarnya, lalu menguncinya dengan sangat rapat. Ah, ia sangat benci dengan perjodohan yang tak pernah ia ketahui sebelumnya, orang tuanya memberi tahu saat pernikahan akan dimulai 2 minggu lagi.

       Sakit? Benar.
Namun tak ada pilihan lain, jika keluarga mereka tidak segera membayar hutang mereka, sudah pasti rumah mewah mereka sudah digusur. Mereka memang memiliki rumah mewah, namun perusahaan papa Naira begitu saja bangkrut karena penipuan oleh perusahaan lain. Itu membuat Ali- papa Naira harus berhutang banyak kepada Setyo- papa Adam. Begitulah takdir, tak semua yang terlihat kaya akan selalu bermegah-megahan.

       "Maaf ya ma, semuanya gara-gara papa." Lirih seorang lelaki jangkung yang duduk dengan air mata yang mulai menetes.

     Naira yang sedang mengurung dirinya di kamar, kini ia sedang menatap bintang dan bulan di balkon kamarnya. Terasa hening dan senyap, namun sangat nyaman berada di tengah-tengah kesunyian yang indah itu.

       Lamunannya tersadar saat ponselnya yang terletak di atas meja berdering. Ia menggapai ponsel itu dan mulai menggeser panel hijau ke kanan. Ia mendekatkan ponsel ke telinganya, lalu ia kembali ke balkon untuk melihat bulan dan bintang.

       "Assalamu'alaikum Naira." Ucap seorang wanita dari sebrang telepon.

       "Wa'alaikumussalam, ada apa Ca?" Jawab Naira dengan mata yang masih sembab karena habis menangis.

       "Gimana Nai? Kamu berhasil bujuk mama kamu gak? Aku gak sabar banget Nai, kepingin banget kuliah di sana. Kita kuliah bareng, harus pokoknya!" Oceh Caca dari sebrang telepon.

       "Ca, ngomong apa sih. Aku udah gak punya mimpi. Mungkin ini jalan terbaik yang diberikan Allah untukku. Semangat ya kamu, semoga lulus di universitas itu!" Dukung Naira walaupun hatinya sedang tidak baik-baik saja. Ia rela menghempaskan mimpinya jauh-jauh demi harus menikah dengan Adam.

       "Nai.." lirih Caca. "aku gak tau lagi mau gimana, kamu kenapa bisa sabar banget sih. Aku pengen deh seperti kamu, yang rela menerima perjodohan demi orang tuamu. Kamu juga semangat ya jalani hidup." Lanjutnya.

       "Gapapa kok. Kamu jangan lupa datang ya ke pernikahanku. Ingat, 2 minggu lagi." Pasrah Naira.

       "Jadi soal Abyan gimana? Udah kamu jelasin ke dia semuanya?" Tanya Caca dengan nada was-was.

       Naira menghela nafas panjang. "Nanti bakalan aku jelasin baik-baik sama dia. Pasti dia paham kok, gapapa. Ini tetap jadi urusanku." Jelasnya.

Muhasabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang