Chapter. 17

8.2K 937 152
                                    

"Yo, Bro!" sapa Jordan saat melihat gue keluar dari pintu kedatangan dan segera memeluk gue dengan erat.

Gue auto senyum dan mengeratkan pelukan. Waktu gue bilang mau visit, ofcoz Jordan kaget bukan main.  Saking sibuknya, kami sama-sama belum bisa temu kangen kayak gini.

"It's good to see you, Bro," ucap gue sambil melepas pelukan.

Jordan tersenyum lebar dan tampak senang. "I can't believe that you came to visit, damnit!"

Gue cuma nyengir sambil mengikuti Jordan untuk keluar dari area bandara. Mengikuti penerbangan tengah malam dan tiba di Sydney di pagi hari, bikin kepala gue auto pusing.

"Sarapan dulu aja, yah," ajak Jordan saat kami udah di mobil.

"Jadi, udah kerasan hidup di sini?" tanya gue sambil menoleh ke luar jendela untuk melihat pemandangan kota.

"Yes! Much better than Indo," jawab Jordan senang. "Lu gimana? Tumben banget bisa visit hari gini? Dikasih cuti sama bokap?"

"Gue keluar," jawab gue sambil menoleh untuk melihat Jordan yang langsung tersentak kaget.

"Keluar? What do you mean?" tanyanya bingung.

"Same like you. Gue keluar dari rumah," jawab gue santai.

"How? Gue yakin kalo lu lebih bisa handle mereka ketimbang gue."

"Kata siapa? Gue udah terlalu lama tahan diri, Dan. Mereka semakin keterlaluan dengan tuntutan ini itu."

"Again? Tuntutan apa kali ini sampe bikin lu nekat keluar juga?"

"Gue dipaksa nikah sama Tania."

Jordan kembali menoleh ke arah gue dengan mata melebar kaget. "That Tania again? Fuck!"

Gue hanya mengangkat bahu dan menatap ke depan. "Nggak ada hal baik kalo gue tetep stay sama orangtua, Dan. You know that for sure. Gue merasa nggak cukup dewasa dan kurang mandiri di sana. Gue pengen cari kepastian untuk jalanin hidup gue sendiri. Sesederhana itu tapi mereka nggak mau ngerti. Gue capek."

Jordan menepuk-nepuk bahu gue dan gue kembali menoleh ke arahnya. Dia hanya mengangguk dan memberi senyuman maklum. "Gue paham. Udah bener banget lu datang ke sini buat refreshing."

"Enough talking about me. How 'bout you, Badass?" tanya gue sambil terkekeh.

"Jadi karyawan teladan, punya istri yang pengertian, dan dua anak cewek yang cantik. My life is perfect," jawab Jordan dengan nada bangga.

"Such a family man," cetus gue dan Jordan langsung tertawa sambil mengangguk setuju.

"I am," balas Jordan bangga. "Lu perlu juga mikirin soal berkeluarga."

"Gue belum punya pikiran sampe sejauh itu," sahut gue langsung.

Jordan tertawa pelan. "Kalo dipikirin terus, yah nggak sampe-sampe. Yang bener tuh dijalanin aja. Lu kira waktu gue mutusin untuk nikah sama Ivy, gue ada kepikiran sampe situ? Nggak ada sama sekali, Jo. Tapi, hati kecil gue bilang, dia adalah orang yang bakal bikin gue jadi lebih baik saat bersamanya."

"Lebay," cibir gue.

"Kesannya lebay, yah, tapi itu beneran kok. Kadang, kalo kita jalan sendiri, suka bisa nyasar dan nggak ada siapa pun yang bantun kita untuk cari jalan yang bener. Tapi dengan berdua, ada yang bantu ingetin rute, kasih masukan, dan bisa tuker cerita. Dua lebih baik dari satu, itu katanya. Dan, gue percaya itu."

Ucapan Jordan bikin gue kicep. Selama gue jalani hidup kayak gini, nggak ada yang menarik dan gitu-gitu aja. Gue juga tahu kalo Jordan juga punya karakter yang nggak beda jauh sama gue. Tapi sejak dia berkeluarga, dia jadi lebih komunikatif dan responsif.

SITUATIONSHIP (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang