Mingyu bukanlah ketidaksengajaan. Untuk apa repot-repot pergi ke kafe dekat gedung perkantoran kalau saja di depan kampus sendiri ada? Berbicara jarak tentu saja tempat ini cukup jauh dari tempat dimana seharusnya mereka berada. Jauh dari rumah, kampus, ataupun tempat-tempat yang biasa dikunjungi.
Jaemin tidak tahu langkah yang diambilnya akan benar atau tidak. Tetapi keberuntungan nyatanya sedang berpihak. Niat mampir yang entah keinginannya datang dari mana itu membawa dia, mereka bertemu sosok yang dikenal dan mengenal. Bisa dipastikan kabar keberadaannya dan Jeno di sini sudah sampai ke telinga seseorang yang menjadi peran utama dalam kisah ini.
"Jaem, rasanya sangat lelah menyimpan semua ini. Aku hampir saja gila karena menahan diri untuk mengatakan semua kebenaran," keluhan itu datang dari mulut Jeno sendiri. Si bangir menyeruput americano miliknya. Kopi pekat tanpa tambahan apapun yang harusnya terasa pahit. Namun hari ini tidak, karena apa yang akan terjadi mungkin akan berkali lipat lebih pahit.
"Maafkan aku," lirih Jaemin. Pemuda itu juga menyeruput minuman yang sama. Jari-jarinya bergerak gelisah mengusap benda di tangan. Jika boleh memilih, sampai kapanpun Jaemin tidak akan pernah mau mengantar benda itu kepada orang yang harus menerimanya. Karena demi apapun. Kisah ini tidak akan terhindar dari kepiluan apabila tulisan-tulisan di dalamnya sampai terbaca.
Jeno dan Jaemin benar-benar merasa kacau. Melihat kehancuran orang-orang tersayang keduanya menghadirkan rasa yang begitu menyiksa. Namun mereka pikir tentu saja itu tidak ada apa-apanya dibanding yang menyandangnya sendiri. Jaehyun dan Jena, mereka berdua hampir-hampir tak pernah berani membayangkan betapa hancur hati kakak-kakaknya.
"Noona masih sangat cantik," Jeno memandang lekat ponsel Jaemin yang diserahkan padanya. Beberapa foto dari gadis yang sedang mereka bicarakan terpampang di sana. "Tapi dia terlalu kurus."
"Dia sangat merindukanmu, Jen."
"Aku juga. Sangat-sangat sampai rasanya aku ingin berlari ke sana."
"Apalagi...Jaehyun Hyung ya?" lirih Jeno. Jaemin yang masih dapat menangkap suaranya pun ikut menundukan kepala. Melempar pandangannya sejenak ke lantai putih yang dingin.
"Bagaimana-tidak, sehancur apa Jaehyun Hyung?" pertanyaan yang terdengar jahat. Tapi apabila memang hati lelaki itu terbuat untuk kakaknya, pastilah Jaehyun selama ini hidup dengan kehancuran. Pasti dia tidak akan baik-baik saja. Ditinggalkan yang terkasih bukanlah hal yang mudah. Apalagi Jena tidak pernah menitipkan sepatah kata pun untuk menjelaskan yang sebenarnya.
"Kau akan melihat sendiri-" mata Jeno menyusur jalanan di depan kafe. Kaca besar yang menjadi pembatas dengan lingkungan luar menampakan sosok berlarian tergesa. Bahkan lupa memakai mantelnya, mungkin? Jeno pikir bukan hal lumrah hanya berlapis kemeja tipis dan sebuah jas di udara yang mencapai derajat minus ini. "-sebentar lagi."
...
"Jaem!" dan setelah keduanya melihat pemandangan seorang lelaki yang kelimpungan mencari keberadaan manusia lainnya, kini Jaehyun sudah berdiri di hadapan mereka. Jaemin memasang tampang tenang. Sementara Jeno, entahlah. Dia hanya berharap tidak mengerti situasi ini dan bisa untuk tidak peduli lagi. Dia tahu sebesar apa tersiksanya batin sang kakak. Tapi dia juga tahu sebesar apa perjuangan Jena untuk menutupi semuanya. Lalu, apa boleh buat?
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise
FanfictionJanji dan berjanji ternyata bukanlah perkara yang mudah. Jaehyun tahu kemudian hari. Janji yang pernah dia ucapkan dengan tujuan melindungi malah jadi penghancur. Bukan hanya dia, bukan hanya diri sendiri. Tetapi menghancurkan mereka dan kita. Start...