Chapter 2

130 2 0
                                    

Ia ingin membuktikannya sendiri.

Bagaimana taman itu bisa membuat seseorang terluka padahal tempat itu hanya memerlukan seseorang untuk menatanya menjadi lebih baik. Hina tidak menemukan siapapun selain tanpa perubahan atau seseorang yang memperingatkan dan muncul tiba-tiba, seperti kemarin.

Kursi itu seperti kesengajaan dengan pembuatannya yang seorang diri. Tidak banyak informasi yang didapat mengenai tempat ini, mereka tidak tertarik pada kesederhanaan yang berbaur dengan sedikit pembakaran dari matahari. Salah satu yang bisa dijangkaunya hanyalah dipan itu, yang memiliki ribuan pengalaman tentang hubungan mereka yang berdiam di sini—mungkin—sebelum tempat ini menjadi sepi.

Hina hanya bisa menjangkau dipan itu lagi, tanpa ada ketertarikan terhadap yang lain. Tempat ini bisa menjadi miliknya jika tidak ada yang mau menggunakan. Tubuhnya sedikit segan ketika harus menikmati kayu cat cokelat yang dingin itu.

Ketika kakinya tidak bisa menentukan kenyamanan dan merasa ada yang salah dengan rerumputan itu, ia terkesiap dengan gonggongan anjing yang dua kali lipat lebih dekat, tapi wujud itu belum ditemukan. Ia memeriksa belakang dipan dengan menumpangkan lutut pada kursi itu. Anak anjing tiba-tiba melompat dari rongga depan dipan ini ketika ia kembali ke awal posisinya. Hina berseru, menyambar suatu perlindungan dari arah yang tak diketahuinya; hanya melompat ke pinggir, berniat meninggalkan tempat lalu menubruk seseorang—entah siapa—yang akan diadukan masalah mengenai anjing itu. Dibanding mengatakan sesuatu, ia masih mencari perlindungan.

Dan malah merekatkan dirinya pada orang yang tepat untuk bergegas ketika ia menjerit.

Hina kembali pada kesadarannya, menjauh cepat. Dari cara kepala yang tidak mau menengadah, sepatu kulit—hitam itu sudah menunjukkan keformalan; seseorang yang harus dihormati.

“Ma-Maaf atas ketidaksopanan ini!” Mengatupkan telapak tangan, ia terdesak untuk menghadapkan wajah meski itu akan menjadi ‘lebih dari aib’ dibanding perilakunya.

Orang itu tidak terpengaruh, dia hanya bergumam menyetujui permohonan itu.

“Nah, itulah penyebabnya.”

“Penyebab apa?” Hina ingin membuang ingatannya mengenai perilaku beberapa detik itu sebelum sang guru membahasnya lagi.

“Anjing yang kauteriaki itu. Ada gejala-gejala rabies yang mirip dengannya.”

.

.

Maaf itu belum berujung, seolah harus diteruskan.

Sebab sikap spontan itu tetap terkenang dalam dirinya, terlebih kedua lengan yang menangkapnya seolah anjing itu sedang mengejar.

Papan tulis bergiliran materi, tapi sensasi memalukan itu tetap menempel pada kulitnya. Ia bisa melukiskan kejadian itu seperti menjadi penonton, hanya saja—bagaimana tanggapan dari orang itu dalam terkejut yang mungkin hanya diledakkan dari matanya saja, Hina tidak bisa membayangkan itu. Dia kekurangan raut wajah dan itu absolut di dalam memorinya.

Ada yang harus dihilangkan dari lengan ini. Ketika ia sekedar menjulurkan kedua lengan yang terhipnotis dari perintah di kepala, ia tergesa mengusapnya dan nyaris berseru ambigu. Ada bakteri yang teroles bernama malu, sedikit kurang ajar, dan lebar tubuh yang—ternyata—tidak sama dengan jas putih itu.

Ia nyaris melupakan tugas sekolah hari ini yang terhalangi kedua lengannya. Jiplakan dari papan tulis tadi, dan guratan tebal kapur putih masih tercetak di papan hijau tua yang kusam itu.

.

.

Hina pernah menyukai seekor anjing—dulu, dan mungkin perasaan itu tetap sama jika ia selalu mencoba untuk menempati halaman belakang itu lagi.

Gigitan AnjingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang