Penglihatan Hina dijalari rabun sementara ketika ruang lingkup dominasi putih membutuhkan dahi yang berdenyut untuk memahami tempat ini. Ada suara-suara kecil yang cukup jauh dengannya, yang masih berantakan seperti caranya menebak; apakah mereka memang sudah mati.
Ia bergegas dari cara punggungnya yang tidak ingin terlalu lama berbaring. Hanya tempat tidur, matanya yang sudah memahami ruangan ini, dan kepala yang tidak diikat kain putih—Hina masih hidup. Napasnya memburu saat kembali pada kegelisahan, tentang orang yang menyelamatkannya; dia tidak mungkin mati.
Itu memang tidak mungkin.
“Syukurlah, kita tepat waktu. Tepat saat kau sadar.” Akechi-sensei mendorong pintu yang semula tertutup dengan warna yang nyaris sama dengan tembok. “Beruntung klinik ini punya ruang khusus yang menyediakan tempat tidur.”
“A-Aku…. Kukira kita….”
“Kau pingsan saat aku hampir menabrak truk yang menepi sedang menata beberapa barang bawaan di dalamnya.”
Hina masih terkesiap meski orang itu sama sekali tidak terluka. Dia bahkan mau sedikit tersenyum untuknya.
Tubuhnya tidak benar-benar menyatakan kesadaran, ia masih perlu diam untuk berpikir.
“Untung saja kau duduk di depan.”
“Memalukan.”
“Tidak banyak orang yang mengenal kita.”
Jika menurut orang itu, ketidaktahuan orang-orang adalah sebuah keberuntungan, mungkin Hina bisa menirunya untuk tidak memedulikan cerita mengenai mereka yang digosipkan.
“Oh ya, mengenai lukamu, sebenarnya kau tidak digigit.”
“Hah?” Itu kalimat yang hendak mendobrak ketakutan, tapi ia memastikan kakinya sendiri yang—ternyata—tidak terbalut dengan kaos kaki.
Memar ungu pada tumit di kaki kanannya, dan plester yang menempel pada betisnya di kaki yang lain.
“Anjing itu hanya menggigit sepatumu saja. Lebam itu mungkin berasal dari kursi taman yang menindihmu.”
“Lalu, yang diplester ini?”
Dia mencari-cari jawaban di sekeliling ruangan dari lirikan matanya. “Ada sayatan di sana—aku tidak begitu tahu. Kau selamat, dia tidak sempat menggigitmu.”
Secuil senyum sebagai penghangat dari orang itu dan segala mengenai rabies; reaksi para pasien yang tertular—yang pernah diajarkan padanya ternyata hanya sekedar pengetahuan, bukan pengalaman.
“Saranku, sebaiknya kau mengganti sepatumu dengan yang baru.”
“Kenapa?”
“Kita tidak tahu dengan sisa air ludah yang tertempel pada bekas gigitannya.”
Hina hanya menunjukkan rasa lega itu dari caranya tidak keberatan pada tempat tidur pasien, bahkan sebuah klinik yang bukan apa-apa lagi bagi dirinya.
“Kalau hanya itu, kenapa aku harus dibawa ke sini?”
Akechi-sensei hendak mengusap wajahnya sendiri, namun itu tertahan dan Hina bisa menangkap maksud gestur itu.
“Maaf, aku tidak memerhatikan kakimu. Yang kukhawatirkan hanyalah virus rabies itu.”
.
.
Anjing itu sudah dikantongi sebelum Hina benar-benar merasa tak ada yang buruk dari tempat itu sekarang. Mungkin saat berlari—hanya guru itu saja yang berlari—mereka berhasil membuat anjing itu dapat dilihat oleh orang-orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gigitan Anjing
FanfictionHina menemukan halaman belakang sekolah yang terbengkalai karena anjing rabies yang berkeliaran di sana. Meski begitu, ia selalu ke sana dengan dalih tugas sekolah dan mendapat bantuan dari seorang guru. Gosip bertebaran karena kebersamaan itu, hing...