Chapter 3

93 1 0
                                    

Semua hal tentang rabies menumbuhkan antisipasi, dan mungkin ia menjadi pembangkang.

Setidaknya halaman itu tidak memiliki sampah dan petugas lain yang dilihatnya kemarin hanya ingin menyingkirkan anjing itu.

Sayangnya, anjing itu terlalu misterius untuk berpindah-pindah pada ruang yang teduh.

Hina berlari untuk ruang yang terbentang itu di sepanjang lorong, tapi bukan kesunyian yang akan dinikmatinya secara tidak jelas lagi.

Buku dalam pangkuannya adalah masalah.

Ia terkejut dengan sebuah kebetulan itu, dan memutuskan untuk tidak menjejak pada rerumputan secara tiba-tiba.

Guru itu seperti menekuri sesuatu dari pangkuan dipan itu. Dia berpaling ke belakang setelah mendengar keluhan Hina tentang Matematika.

“Kau mencurigakan.”

“Aku tidak mengerti—cara mengerjakan logaritma.” Ia mendekat tanpa diminta. Untuk buku yang dipegang masing-masing di antara mereka, Akechi-sensei mau memerhatikan buku yang dibagi untuk mereka.

“Setelah bel masuk nanti, akan ada ulangan harian.” Hina mengkhawatirkan coretan merah pada lembaran ulangan nanti, ia tidak mau dipermalukan oleh kebodohan itu.

“Kenapa kau baru mempersiapkannya sekarang?”
“Aku lupa.” Pengakuan, menundukkan kepala.

Setidaknya, orang yang masih belum membagi tempat duduk itu mau mengulas catatan dalam bisunya.

Dan sepertinya, selain tempat ini, ia telah menyusahkan orang yang mengawasi wilayah ini.

.

.

Ada sarana bantuan yang terus-menerus di sini, dan anjing itu bahkan luput dari perhatiannya.

Dia tidak terlihat selama mereka masih membicarakan berbagai perkakas sekolah. Hina berhasil untuk tidak menyusahkan kakaknya di malam hari—lalu kesulitan itu beralih pada orang yang berbeda—dan ia lebih memahami jalan cerita yang diberikan guru ini dibanding guru mana pun.

Hanya ada satu masalah, ia tidak bisa membaginya pada siapapun.

Masalah di dalam hatinya.

Koneksinya tidak berjalan begitu baik, ia bosan dengan hubungan yang tidak jelas dan tersendat-sendat itu. Untuk melebur pada sesuatu yang bersungguh-sungguh, pada akhirnya, hanya pernyataan itu saja yang harus dibeberkan.

Ketika Akechi-sensei berbaik hati untuk mencari poin-poin jawaban pada pelajaran Sejarah, Hina membaurkan dua tugas; menyalin jawaban itu dan merangkai pernyataan cinta di lembaran lain yang terselip di dalam bukunya, sebelum orang itu benar-benar berpindah ke tangan seseorang.

“Kenapa kau mencatatnya juga di belakang buku?”

Hina tergagap menutupi halaman itu dan tersenyum meyakinkan—banyak yang dipendamnya dari senyuman itu--, menengadah pada wajah yang mencari tahu tulisan itu.

“Mungkin Anda salah lihat.”

“Tapi aku benar-benar melihatnya.”

.

.

Secuil keinginan yang sekilas itu dikabulkan dengan cepat.

Koyuki berada di sana, meski dia tidak bisa terlepas dari lingkaran beberapa perempuan yang berdiskusi sementara kekaguman mereka---semoga---sebagai penggemar pasti disembunyikan di balik kalimat-kalimat mereka.

Mereka berbaur dengan keramaian luar sekolah; di pinggiran lapangan. Hina tidak begitu bodoh dengan menyegerakan surat itu, benda yang dilipat itu hanya dipendam di saku roknya. Ia bersabar menunggu hingga pemuda itu berjalan sendirian di sebuah ruang yang bebas namun sepi, di mana pun itu, dan bukan tempat yang terlampau terbuka untuk membuat seseorang bisa memotret mereka tanpa izin.

Gigitan AnjingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang