Chapter 2

50.1K 624 18
                                    


Happy reading...

Sebelumnya bantu follow akun Instagram (_tessadaniela) dan juga akun Wattpad penulis!

⚠️ Dilarang plagiat cerita saya⚠️

⚠️ Dilarang menerjemahkan karya saya dalam bahasa asing dan jangan sekali-kali anda menjual karya saya sebagai milik anda atau bahkan meng-copy serta anda publikasikan pada platform lain! Karya saya hanya milik saya! Dan saya tidak pernah menerjemahkannya dalam bahas asing⚠️

Jangan Lupa vote sebelum membaca!

🔴🔴🔴

Revisi Alur dari Liar 1 - Vero amore

Author's Pov

Rintik hujan menemani langkah kaki segerombolan murid laki-laki yang baru saja datang dari arah gerbang menuju area sekolah. Dengan ciri khas berandalannya, mereka tampak santai walaupun diperhatikan serta dipandangnya remeh oleh guru-guru yang berdiri berjajar untuk menertibkan para siswa.

Ini sudah biasa terjadi, tentang sekolah jika tidak ada murid berandalan, mungkin guru tidak akan sesibuk sekarang. Sekolah jika tidak memiliki murid berandalan, mungkin akan terasa kosong, sebab tiada ditemukan kejadian aneh yang bisa saja menjadi kenangan indah untuk masa sekolah.

Walaupun susah untuk diatur bahkan kerap dihukum, tak membuat para berandalan sekolah itu sadar atau takut sama sekali. Bahkan surat peringatan pun sudah dilayangkan beberapa kali pada orang tua siswa. Namun para berandalan sekolah tersebut acuh bahkan bersikap biasa tanpa adanya rasa perduli setelahnya.

Mereka hanya datang, absen, lalu tidur atau membuat kegaduhan. Belajar? Mereka membuka buku saja sudah syukur. Terkadang mereka hanya diam ketika para guru meminta mereka untuk menyimak.

"Kalian lagi, kalian lagi! Apa tidak bosan kalian berangkat paling akhir seperti ini?" Marah sang guru laki-laki, dengan adanya tongkat panjang ia acungkan pada para berandalan yang sudah berdiri berjejer. "lihat ini, mepet sekali kalian datangnya. Apa tidak ada niatan kalian datang sebelum mepet gerbang ditutup?" Tambahnya, lalu mendecak dan berjalan meneliti para siswa itu dengan memperhatikan seragam sekolah mereka.

"Bapak apa tidak bosan, marah dengan ucapan senada seperti sebelumnya?" Celetuk sosok murid dari barisan belakang, dengan wajah sangarnya ia menyindir, lalu ditertawakan murid lainnya yang berdiri di depannya.

Guru yang merasa ucapannya dibalas itu pun sontak menuju anak itu dan memukul pelan kepala basah anak tersebut. "Dibilangin bukannya jawab iya saya bersalah, malah membalas ucapan saya kamu! Tidak ada sopan-sopannya kalian jadi murid."

Si anak tersebut pun hanya tersenyum remeh, membuat sang guru merasa jengkel lalu berjalan kembali ke depan dan menatap garang pada kumpulan berandalan tersebut.

Bahkan suara bel masuk berbunyi pun, guru itu tampak enggan melepas murid berandalan itu untuk masuk ke dalam kelas. Walaupun rintik hujan mulai lebat membasahi seragam para murid tersebut, ia rasanya tidak rela melepaskan para berandalan sekolah itu untuk memasuki area kelas.

Bukan karena alasan lain, ia hanya tidak suka jika nanti para murid lainnya terbawa energi negatif dan berujung menjadi brandalan juga seperti mereka.

"Pak, sudah waktunya kita mengajar. Lepas saja anak-anak itu, biarkan saja mereka masuk kelas. Hujan mulai turun ini, takut makin deras nanti kita sendiri yang kebasahan," tegur guru lainnya, seorang wanita yang sudah berumur, dan mungkin sudah cocok bila wanita itu pensiun diusianya yang sekarang.

Guru laki-laki itu pun menahan napasnya, lalu ia hembuskan kasar dan beralih menatap mereka para berandalan.

"Kali ini kalian saya lepaskan. Lain kali berangkat lebih pagi , jangan mepet, apalagi datang pakai seragam tidak rapi seperti ini," ujarnya pada para murid itu, lalu ia persilahkan kumpulan berandalan itu menuju kelas masing-masing. Setelahnya, ia mengikuti para guru lain, untuk kembali ke kantor dan bersiap mengajar seperti biasanya.

Sedangkan di koridor sekolah, Manuel tampak berjalan santai melewati kelas-kelas yang sudah ramai diisi para murid. Bahkan mereka tampak fokus menantikan kedatangan guru untuk mengajar mapel pertama.

Di samping kirinya, terdapat teman akrabnya, Sergio yang juga sama melihat kelas-kelas yang mereka lewati. Mereka terpisah oleh kumpulannya, sebab jurusan yang mereka ambil pun berbeda.

Manuel dan Sergio mengambil jurusan Bahasa, sedangkan yang lain, mereka tersebar di jurusan Mipa serta IPS. Walaupun begitu, mereka akan tetap berkumpul kembali setelah pulang sekolah, di warung belakang sekolah, tempat para murid biasa kabur saat jam pelajaran. Mereka memanggilnya warung mbok janda. Karena si pemilik warung adalah seorang janda.

"Motor lo yang sempat lo bawa kemarin lecet gak?" Tanya Sergio pada Manuel, setelah mereka tiba di dalam kelas.

"Lecet dikit, tinggal dipoles aja nanti balik lagi kok bodinya," balasnya, lalu duduk di tempat duduknya begitu pula Sergio yang duduk di sampingnya.

"Gila banget lo semalam, bisa-bisanya lo jatuh, padahal biasanya gacor banget misal latihan." Sergio, kembali menyahut.

"Licin aspalnya, semalam hujan juga. Lagian wearpack gue belom diganti sama bokap, rasanya gak nyaman kemarin pas dipake. Jadi kurang fokus pas latihan," katanya, membuat Sergio mengangguk paham, walaupun ia tahu itu hanyalah alasan semata dari seorang Manuel.

"Jadi, kapan lo bisa ikutan tanding dan ikut ajang internasional? Gue gak sabar lihat lo masuk MotoGp dan balapan di tempat yang sama, sama pembalap favorit gue."

"Gue rasa gak semudah itu, lo tau sendiri gue ikut balapan begini cuma karena hobi. Gak ada niatan dibenak gue buat jadi pembalap internasional kayak pembalap di MotoGP. Lagian itu prosesnya lama, gak semata-mata menang race langsung jadi pembalap internasional. Tahapannya banyak, gak asal."

"Ya nasib gak ada yang tau El, kali aja lo hoki, bisa jadi pembalap internasional, apa gak bangga lo nantinya," tambah Sergio, namun dibalas anggukan saja dari Manuel.

"Eh gue baru ingat, kita kan—"

"Selamat pagi anak-anak," ujar guru perempuan yang baru saja masuk menghentikan ucapan Sergio. Membuat tatapan anak itu teralihkan lalu menganga melihat siapa gerangan sosok cantik yang berdiri di depan kelas tersebut.

"Anjir El, cantik gurunya," celetuknya, dan Manuel yang memang melihat guru itu masuk pun ikut terpana dengan kecantikan sosok guru tersebut.

"Guru baru apa ya?" Tanya Sergio lagi, dan Manuel hanya mengedikkan bahunya. Tetapi netra anak itu tak lepas dari paras menawan guru tersebut, bahkan tanpa sadar ia tersenyum melihat guru itu yang tampak ceria memperkenalkan dirinya pada murid di kelas.

"Cantik." Akhirnya, Manuel tanpa sadar memuji wanita itu, dan hanya fokus pada gerak geriknya bahkan ketika dia diabsen pun, sampai ia tidak sadar.

"Manuel De Alterio?" Guru itu memanggil, tetapi Manuel hanya diam dan tetap terpana pada guru cantik tersebut.

🔴🔴🔴

To be continued...

SCHOOL AFFAIR [REVISI ALUR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang