“Can i come home to your house?” tanya Chenle. Ia mengagetkanku, lamunanku terganggu karenanya.
Aku mengangguk. “Sure, you can.”
Ia tersenyum kepadaku, sungguh, ia begitu tampan. Akhirnya kita berdua berjalan meuju sepedaku untuk pergi pulang ke rumahku.
Seperti tadi, jarak sekolah dari rumahku tidak begitu jauh. Hanya membutuhkan beberapa menit saja. Perjalanan kita berdua terasa cepat, karena sedari tadi Chenle banyak menanyakan sesuatu. Akhirnya kita sampai di daerahku, setelah sampai, akku memakirkan sepedaku.
“This is your home?” ujar Chenle. Aku menjawab dengan anggukan.
“Come on in. You are like my own guest.”
Akhirnya kita berdua beranjak masuk ke dalam rumah. Ah, sialan, rumahku terlihat berantakan karena kemarin yang lalu.
“Do you live alone? Where’s your family?” tanya Chenle.
Aku sedikit terguncang mendengar pertanyaan itu. Bukan apa-apa, hanya saja semuanya telah pergi. Aku sendirian di sini, Ayahku, Ibuku, dan semua keluargaku.
“Im sorry, i don't know your problems.” Aku tersenyum kepadanya. Tak apa, itu memang hal biasa. Pertanyaan itu, sudah biasa.
“I feel very bored,” ujar Chenle tiba-tiba.
Aku sedang memikirkan sesuatu. “I have a camera, how about we do something with that camera?”
Chenle mengangguk. Ia menyetujui ide ku itu, ide sederhana, tapi tak mengapa. Akhirnya aku beranjak pergi masuk kedalam kamarku untuk mengambil camera. Camera hadiah ulang tahunku dari Ibu. Aku sangat merindukan hari-hari di mana Ibuku memotretku dengan camera pemberian Ibu.
“Chenle, this is the camera, you can shoot me first.”
“Okay, 1 2 3-”
Chenle berhasil memotretku dengan berbagai macam gaya. Ah, untung saja aku mengganti pakaikanku, supaya terlihat lebih keren.
Ia benar-benar pandai mengambil foto.
Hasil fotoku terlihat sangat profesional. Gaya terakhir begitu konyol, Chenle saja sampai tertawa terbahak-bahak. Padahal baru saja kenal, ia sungguh begitu baik kepadaku. Kuharap seterusnya ia akan baik.Kali ini waktu aku yang akan memotret Chenle, aku mengambil alih camera ku.
Aku bersiap, lalu memberi aba-aba kepada Chenle. Tiba-tiba ia mengambil beberapa bunga di vas bungaku, lucunya.“Okay Chenle, 123-”
Seperti itulah hasil foto Chenle yang kuambil. Aku tidak begitu profesional. Tapi, kuharap ini cukup baik menurut Chenle, supaya tidak terlalu mengecewakan. Setelah acara saling memotret, kita berdua saling tertawa. Membahas suatu hal yang membuat kita berdua tertawa tiada henti.
Sungguh, jika Ibuku masih ada di sini pasti ia akan senang. Senang karena aku bisa mepunyai teman lagi selain Haechan. Kuharap Ibuku melihat hal bahagia ini diatas sana, semoga.
Untuk part kali ini cukup sampai sini saja ya. Akan ©Jise lanjutan di halaman berikutnya. Seperti biasa, ©Jise membutuhkan dukungan berupa vote+komen+kritik dan saran. Untuk kritik dan saran tetap gunakan bahasa yang sopan, terimakasi banyak. Happy reading peeps!
KAMU SEDANG MEMBACA
Belum Usai
FanfictionIni kisah tenang dua rasa yang tidak akan pernah menyatu. Terhalang hati lain yang perlu dijaga. Perihal rasa yang tak bisa pernah hilang. a fanfiction story ©Jise, all right reserved 2020.