7

6.7K 601 69
                                    


"Arina kemungkinan HIV. Dan, tidak menutup kemungkinan kamu juga terjangkit, Alwan!" Gertak Ibunya dengan tangis frustasi.

Di ruang keluarga mereka bertemu. Jika bukan Karena ingin mencari Qowiyyah, mungkin Alwan belum berani menginjakkan kaki ke rumah orangtuanya.

Saat tiba di rumah, betapa terkejutnya dia karena tidak mendapati Qowiyyah dan Zahirah. Membuka lemari, sebagian besar pakaian sudah tidak lagi di tempatnya.

Walaupun berkali-kali Alwan berteriak memanggil-manggil nama itu, tapi kini tak ada lagi sahutan.

Rumah minimalis itu, begitu sepi.
Hening! Dan tak ada lagi tanda-tanda kehidupan di sana. Sebagian lampu juga sudah mati.

Alwan menjambak rambut merasa frustasi. Saat mendengar berita jika Arina di Vonis HIV, Alwan nyaris kehilangan separuh nyawa. Bukan hanya kehilangan Qowiyyah, bahkan seluruh keluarga bahkan juga dirinya sendiri.

Ia sadar, terlena dengan banyaknya harta, kini mempertaruhkan hidupnya dan harta tak lagi ada apa-apanya.

Hancur! Alwan hancur sekarang.

Dan kepalanya nyaris meledak saat tak lagi mendapati istri pertamanya berada di rumah. Ia ingin menjelaskan jika hanya kemungkinan kecil ia terkena penyakit itu, karena mengingat dirinya tak pernah lupa menggunakan alat pelindung.

Walaupun ia tidak yakin 100% tapi ia berharap Qowiyyah masih ingin menerima dan mengerti, serta menunggu hingga hasil pemeriksaannya keluar. Tidak meminta untuk bercerai ataupun berpisah.

Dan di sinilah dirinya berada.
Ruang keluarga dengan lampu yang senagaja di matikan. Pekatnya malam benar-benar terasa. Bahkan, orang tuanya tak lagi sudi menatap wajahnya hingga lampu di matikan saat dirinya tiba di rumah tempat ia di besarkan.

"Kamu tahu, mengapa Ayah menjodohkan kamu dengan Qowiyyah?"

Tak ada jawaban. Alwan masih menunduk di sudut sofa.

"Sejak kecil, Ayah dan Ibumu selalu menjumpai hal-hal yang tidak di miliki anak lain. Ayah melihat bagaimana dia tumbuh dengan ilmu islam yang begitu baik. Patuh pada orang tua dan selalu berusaha menjaga diri."

"Mungkin, kamu pikir, perjodohan itu hal yang bodoh dan bukan zamannya lagi. Tapi, orang tua mana yang tak menginginkan hal baik untuk anak-anaknya? Termasuk jodoh."

Ibunya kembali terisak-isak dalam pelukan Fiyyah putrinya. Ishaq masih duduk di sisi ibu mertuanya guna menenangkan.

Suara pria tua itu terdengar sedikit berat dan parau. Mati-matian ia menahan rasa sakit yang di alaminya sekarang ini. Mendengar putranya di kemungkinan mengidap penyakit laknat adalah pukulan terbesar yang pernah ia alami selama hidup di dunia.

"Kamu berpikir, bahwa Kamilah yang salah. Mungkin tidak pernah terbetik dalam ingatanmu bagaimana kami mencintaimu setulus hati." Pria tua itu terisak.

"Entah dosa apa yang pernah Ayah lakukan hingga mendapatkan musibah seperti ini."

"Ayah ..." Alwan bersuara dengan nada bergetar.

"Kamu menyia-nyiakan istrimu dan memilih wanita yang tidak jelas asal-usulnya. Menikah diam-diam entah asbab apa, kamu juga tidak pernah bercerita. Lalu bagaimana dengan Zahirah? Apa kamu sama sekali tidak pernah memikirkan bagaimana masa depannya?"

"Mungkin, Ayah dan Ibumu ini orang bodoh yang lupa mengajarkan kamu lebih banyak ilmu agama. Hingga, kamu bisa jadi seperti ini."

"Maafkan, Saya Ayah, Ibu,"
Pintanya dengan air mata berlinang.

"Kamu tidak perlu meminta maaf. Kami yang salah mendidik kamu. Kami juga salah telah memilih jodoh yang kami rasa terbaik untuk kamu. Seharusnya kamu sendiri yang memilih wanita mana yang kamu sukai. Tapi, kami terlalu ikut campur,"

Maduku, Nerakmu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang