ICU

309 12 0
                                    

       Sejak saat itu kedekatan yang terjadi antara kami, bukan lagi sekedar persahabatan semata, entah kenyataan awal yang menyatakan kalau yang terjadi padaku dan Dika adalah suatu rencana semata, kita saling menikmatinya, dan kurasa aku mulai dan dengan benar merasakannya, CINTA.


"Uhukkk. . .Uhukkk. ." Aku mendapati Dika terbatuk- batuk diruang kelas selang jam istirahat, aku bergerak cepat menghampiri.

"Dik. . .Dika. . lo kenapa ? lo sakit ? muka lo pucet" tanyaku cemas

"Gapapa ko Rev, cuma lagi gak enak badan aja kecapean kayannya"

"Yakin gapapa ? kalo gak kuat biar gue yang izinin Dik, nanti Arif yang nganterin lo pulang ya"

"Yakin, gue gapapa Reva sayang,, cuma kecapean aja kebanyakan aktivitas kok, lo gak perlu kuatir"

"Bener ? yaudah lo minum dulu nih, mau gue cariin makanan atau obat?" Aku hendak berdiri sampai telapak tangan Dika menahan pergelangan tanganku.

"Gak usah Rev, gue udah makan ko tadi di kantin sama Arif"

"Yaudah kalo gitu lo istirahat ya Dik, gue gamau lo kenapa – napa, nanti lo langsung pulang aja, biar apa yang dijelasin pas pdm gue terangin lagi ke lo"

"Lo takut gue kenapa-kenapa ? Lo khawatir sama gue ?"

"Iyaa, gue gamau lo kenapa – napa, karna gue sa. . . sama lo" Ucapanku tiba – tiba terpotong

"Kenapa kok dipotong ? Sa . .? Sama gue ? Sayangggg ?" Ucap Dika cengengesan

"Yeee, pede lo ahh, enggak itu tadi cuma lupa aja mau ngomong apa" Kataku asal yang lebih terlihat salting dadakan 

"Udahhh, jujur aja , gaboleh bohong dosa, entar nyesel loooooh" Mata Dika mengerling seketika

"Okeee, okee, iya gue sayang sama lo Dik, Sayang !" Ucapku ulang

       Dika tersenyum tulus, senyum yang selama tiga tahun selalu meneduhkan gusarku, perihal penatnya rumus matematika, unsur kimia, dan perkalian koma fisika. Dika yang tak pernah bosan

        Tak terasa waktu menuju perjuangan kami sesungguhnya menunutut ilmu selama tiga tahun tinggal beberapa bulan lagi, kami sampai di bulan terakhir tahun 2010, kami lebih sering menyandangi toko buku  atau terkadang belajar bersama membahas soal latihan ujian dirumah masing – masing dari kami secara bergantian. Sampai pada satu waktu aku mendapat satu kejutan pukulan pahit.


"Revaaaaa . . ." panggil Dea kencang diikuti Arif disampingnnya berjalan cepat seraya memelukku hangat. Aku tak mampu lagi membendung butiran bening jatuh cepat dari kelopak mataku, deras beriringan melewati kedua pipiku.

"Dika kenapa Rev ?" tanya Arif pelan sambil menepuk halus pundakku menenangkan.

"Guee,,, gaktau Rif, pandanganku beralih merunduk.

" Ibunda Dika telepon gue tiba-tiba dan ngasih tau kalo Dika lagi disini, gue gak ngerti Rif, ucapku berganti isak.

"Dika ....."

"Apa yang terjadi sama Dika gue gak tau, gue belum diperbolehkan masuk, gue juga belum ketemu sama orang tua Dika, mereka lagi diruang Dokter, gue gak tega liat Dika sekarang." Dengan sigap Dea menjatuhkanku kembali dalam pelukan hangatnya membiarkan baju yang ia kenakan basah ulah tangis dari mataku.

"Lo sabar dulu ya Rev,, lo tenang, kita sama – sama berdoa aja semoga Dika gapapa" Ucap Dea menenangkan.

"Reva, Dea, Arif" panggil Mama Dika yang ternyata sedang berjalan menghampiri, aku mengangkat dagu seraya menghapus air mata yang bersis,  kami lantas berdiri menyalami.

"Tante,,,? Dika kenapa tan ? Dika sakit apa ?" tanyaku liar tanpa basa-basi lagi

Suster dari ruangan Dika keluar, "Maaf Pak, Bu pasien sudah dapat dikunjungi tapi bergantian ya minimal 2 orang" Ucap suster tersebut

Ibunda Dika hanya tersenyum, senyum penuh luka yang ditunjukkan padaku hanya untuk sekedar memberiku isyarat perantara mulut kedua Dika "Jangan nangis Rev, gue gak suka orang yang gue sayang jatuhin air matanya karena gue" Lamunanku soal ucapan Dika bubar bersamaan dengan ajakan Ibunda Dika;

 "Ayoo Rev, kamu masuk duluan sama tante ya"

Di ruang ICU . .

"Dika sayang, bunda dateng sama Reva nak; katanya dia kangen sama kamu, kamu gak mau bangun ngeliat wajah cantiknya yang jadi kusam karena ulah kamu" kutikam manik matanya dalam, sayatan luka itu terpancar tidak berdarah tapi sakitnya seorang anak adalah sayatan bagi sang ibunda.

       Tak ada jawaban dari mulut Dika, namun matanya masih terbuka, butiran air mata keluar dari ujung kelopak matanya, mulutku masih terkunci diiringi tangis yang tak berhenti, Ibunda Dika mengalihkan pandangannya kepadaku, sejenak hatiku berdesir.

"Reva,, Dika sesungguhnnya sudah enam bulan lalu divonis radang kanker paru–paru, dan kesempatannya untuk bertahan diprediksi gak lama lagi" 

       Cairan bening yang sejak tadi ia tampung dipelupuk mata mengalir sudah, aku tercekat; kerongkongan seperti terhimpit; kadar oxigen yang masuk melalui rongga hidungku melemah; nyaris ku lengah membiarkan diri terkulai lemas diiringi isak tangis dari bunda Dika yang membuatku tersadar dengan segera merapat pada tubuh yang yang selalu berhasil menghapus peluhku, kuraih pergelangan tangannya yang terkulai lemas, yang tempo kemarin masih dapat menggengamku dengan erat, kini aku yang menggenggam tangannya erat, berharap telapak tangannya mampu menamparku dan membangunkanku dari mimpi pedih ini.

"Kenapa udah selama itu Dik ?" Mata yang sedari tadi tak lepas kutatap nyaris menyerah; mulutnya yang sedari tadi bungkam mulai memberontak, tangisku tetap tumpah tanpa arah.

 "tapi lo gak sama sekali cerita tentang keadaan lo sama gue dan yang lainnya, dan lo malah nutupin itu semua? dan kenapa gue baru tau itu sekarang ? kenapa ?" Ucapanku seolah mengintimidasi Dika; semakin ku erat genggamanku padanya; mentransfer semua kekuatan yang kupunya padanya; kuseka segala wujud derai di wajah berharap Dika paham bahwa aku tak lagi menangis karenanya; jadi ia harus membayar hutang karena telah membuatku menangis pagi tadi. Tak lama rongga mulutnya mulai mengeluarkan suara.

"Rev......re.....va; bun.....da....." Samar, namun aku dan bunda tetap bisa mendengar apa yang Dika ucapkan; belum sempat aku menanggapi ucapannya bunda meraih pergelangan Dika yang lainnya; memandang penuh luka juga bangga pada buah hatinya.

"Katakan nak; bunda dan Reva selalu ada buatmu; bunda paham kalau kamu lelah; maka sebelum menyerah; katakanlah" aku tercekat; atmosfir dalam tubuhku kian memanas; arah pandangku yang sempat beralih pada bunda kini kembali fokus kepada manik mata lemah Dika; aku paham sekarang; mata bulat hitam legam yang dimiliki Dika kian memancarkan titik lemah yang tak pernah aku lihat; mata yang selalu menyiratkan tawa dihadapanku kian mendung; apapun itu Dik katakanlah; aku berkonsen kembali pada apapun yang akan Dika utarakan.

"Di....ka ....say...ang...ka...li...an...se...mu...a" Terbata; tapi akhirnya Dika lolos mengucapkan kalimat terakhirnya.

"Asyhadu alla ilaaha illallah

Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah"



----------------- Tuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuttttt------------------


Garis zig – zag itu berubah lurus;  Arif, Dea, dan Papa Dika memasuki ruangan segera.

 Aku hanya terpaku bisu, masih mengharapkan aku akan terbangun dari tidurku, namun tidak aku tidak sedang tidur apalagi bermimpi.

"Dikaaaaaaaaa . . ." teriakan kami semua memecah semua lara yang ada, tumpah satu kesedihan dan luka yang amat dalam, waktu tepat menunjukkan 21:10 WIB tepat di penghujung tahun 2010, waktu dimana pergantian tahun akan kami rasakan, namun inilah faktannya kami mengawali tahun 2011 tanpa adanya Dika.

"Dika semua sayang kamu" Selamat jalan

Surat Kotak Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang