Helaian pirangku dibelai angin sepoi senja itu di atap rumah. Baskara tenggelam menyisa lembayung; mega keemasan berarak di angkasa.
Aku berbaring, menatap ke langit lepas. Besok adalah hari pertamaku sebagai murid SMA. Tidak mudah memang untuk diterima di salah satu SMA Negri favorit Moniyan, tapi entah bagaimana namaku berhasil diterima.
Lihatlah, senja berlalu secepat itu. Kerlip bintang sudah mengisi gelapnya malam, bibirku mengkurva. Menonton bintang itu indah, kawan. Earphone di telingaku memutar sederet lagu genre indie, sampai-
"Alucard! Turun dan makan sekarang! Jangan lupa mandi!"
***
Alucard turun dari atap ke balkon atas rumahnya. Ayahnya yang seorang pengusaha minerba memiliki sebuah rumah cukup mewah berukuran 15×20 meter belum termasuk halaman di bagian elit Ibukota; orangtuanya pun awalnya bingung kenapa Alucard mau masuk sekolah negri dan bukan sekolah swasta elit.
Masuk ke dalam kamar tidurnya, Alucard mandi. Ia lalu keluar dan turun ke ruang makan.
"Selamat makan, papa, mama," ucapnya tenang setelah mengambil nasi dan lauk. Kedua orangtuanya duduk di sisi yang bersebrangan, Alucard menatap mereka dan tersenyum.
"Jadi, apa topik pembicaraan kita malam ini?" Tanya sang ibu, Rafaela. Ia tersenyum manis, seperti biasa. Sang ayah, Argus tak berbasa basi. Ia langsung makan dan tak menghiraukan istrinya.
"Uh, Alu gugup untuk sekolah besok ma. Kira-kira, SMAN 3 itu seperti apa ya? Apakah Alu bakal punya teman banyak?"
Rafaela tersenyum. Menelan makanannya, ia lalu membalas pertanyaan putra semata wayangnya.
"Menurut yang mama baca, SMAN 3 itu fasilitasnya lengkap dan bersih. Selain itu, murid-muridnya juga berprestasi dengan rata-rata tinggi. Kamu kan yang pilih masuk sana?
Alucard menghela nafas. Menyelesaikan makannya dalam diam.
"Iya ma. Selamat malam," ucapnya yang kemudian berjalan ke ruang belajar di samping kamar tidurnya, membereskan buku untuk besok hari. Setelah menyikat gigi, Alucard pun menghempaskan diri ke kasur tapi tak berhasil tidur. Pikirannya menggila jauh.
"Hidup macam apa yang akan terjadi selanjutnya? Lucu..."
Ia bangkit, menenggak sebutir pil dengan air putih di meja samping tempat tidurnya. Jam dinding di luar menunjukkan tengah malam.
***
Keesokan paginya di sekolah, Alucard memarkir sepeda motornya dengan rambut basah, tas di pundak. Jam tangan yang melingkar masih menunjukan pukul setengah tujuh pagi saat sang pemuda pirang berjalan masuk ke dalam sekolah dan mencari daftar pembagian kelas.
"Permisi, kamu di X-BAH B?" Tanya seorang gadis pirang mungil di sampingnya. Alucard menoleh, tersenyum padanya.
"Ya. Kamu juga? Sepertinya kita akan sekelas," balas Alucard ramah. Ia menyodorkan tangan kanannya yang tertutup jaket dan sarung tangan pada sang gadis.
"Alucard. Kamu?"
"Ruby. Mohon kerjasamanya ya, Alu! Boleh kan aku memanggilmu begitu?"
Alucard terkekeh dan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
"Kebetulan, itu panggilanku di rumah. Silahkan, Ruby. Semoga kelas kita damai ya setahun ini..."
Kali ini giliran Ruby tertawa kecil. Tanpa sadar, mereka sudah memasuki kelas. Ada beberapa murid di kelas dengan posisi duduk yang menyebar.
"Ruby mau duduk di mana? Aku duduk di depan atau tengah."
Ruby menghela. Melepas tudung jaketnya dan berjalan ke belakang.
"Sayang sekali. Aku modelan rusuh dan gak akan betah di depan. Aku duduk di belakangmu."
Kelas X-BAH B terdiri dari dua belas pasang bangku dengan kapasitas 24 orang. Meja dan kursi murid tersusun rapi empat baris vertikal dan tiga baris horizontal. Alucard duduk di meja kedua dari depan, menempel dinding dan Ruby tepat di belakangnya.
Satu persatu murid datang dan mengisi bangku. Seorang pemuda bersurai sehitam malam dengan sedikit bagian putih langsung meletakkan tasnya di bangku samping Alucard. Earphone terpasang di telinganya, jaket hitamnya berkerah tinggi sampai menutupi bibir dan bagian bawah hidungnya.
Misterius... pikir Alucard. Si pemuda menurunkan retsleting jaketnya dan tersenyum. Saat ini Alucard menyadari kalau pemuda itu punya bekas luka melintang di mata kirinya.
"Panggil gue Granger. Kalau guru jelasin yang penting tolong dibangunin, thanks."
Granger meletakkan kepalanya di meja dan langsung tertidur. Alucard menyadari jemarinya yang panjang dan kurus serta kapalan di ujungnya. Granger benar-benar pucat, Alucard sedikit khawatir pemuda di sampingnya kurang tidur.
Menunggu guru untuk memulai MPLS, Alucard memainkan ponselnya. Lima belas menit berjalan aman, sampai-
***
"PRIIIIIIT!" terdengar teriakan sebuah peluit. Seorang kakak kelas dengan rompi osis dan rambut perak berkuncir satu berkacak pinggang di depan kelas.
"Ayo, cepat! Kita mulai MPLS hari ini di lapangan!"
Alucard sadar dirinya memasuki neraka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kak OSIS! (Miya x Alucard) Unstable Update
RomanceTerik matahari pagi itu tak menghalangi SMAN 3 Moniyan untuk melaksanakan MPLS. Itu termasuk aku, Alucard. Para kakak kelas membariskan kami dari nomor absen, sampai- "Hei! Kamu! Cowok pirang dari X-BAH B! Lepas jaketnya!" (';ω;') -Alu Helaian perak...