Prolog 2 : Mi

172 17 5
                                    

Darah menetes dari luka gores rusuk kananku. Memperbannya rapi, sebuah helaan terlepas dari bibir.

"Miya, kau seharusnya jangan ikut berantem lagi. Itu bahaya buatmu, Mi," ucap sebuah suara berat di ujung kamar.

"Kak Estes, ini masalah harga diri. Miya gak rela orang itu menghina teman Miya, makanya Miya pukul. Mana Miya tau dia bawa pisau?"

Obat merahnya perih, tapi masih tak seperih seperti apa yang mungkin Layla rasakan. Bayangkan, bagaimana jika kau dihina hanya gara-gara gaya berpakaian, lalu dilecehkan secara verbal. Teman manapun pasti akan kesal, kan?

***

"Kak Miya, main yuk! PR kakak sudah selesai kan?" Tanya ceria Lolita. Miya hanya bisa menghela nafas dan tersenyum, lalu memencet tombol kirim di email.

"Tadi bukan PR, tapi pekerjaan. Lolita mau main apa?"

"Ayo main petak umpet! Kak Miya pasti tak bisa menemukanku!"

Miya terkekeh. Menyungging, ia menuruti sang adik.

"Kalau begitu kuhitung dari satu sampai sepuluh, siap atau tidak, aku akan datang!"

***

"Halo, papa. Eh, papa akan datang bersama tante Selena? Baiklah..."

"Jangan lupa bereskan kandang kotor itu! Saya ingatkan padamu, panggil dia ibu. Susah sekali sih-"

Panggilan terputus. Lebih tepatnya, Miya putus. Menatap Lolita, ia tersenyum.

"Papa dan Selena akan datang. Temani Mi bereskan rumah, oke?"

Lolita tersenyum, melompat-lompat. Ia langsung berlari dan mengambil sapu serta pengki.

"Perpustakaan dulu? Atau garasi dulu?"

***

Perkenalkan kawan, inilah keluargaku yang berbelit rumit. Awalnya Ayah dan Ibu kami menikah, dua puluh lima tahun yang lalu. Mereka dikaruniai dua orang anak, Estes dan aku. Tapi kemudian, ibuku berselingkuh dan hamil dari seorang pria bernama Franco. Dari situlah lahir adik kami, Lolita. Ayah baru menyadari telat saat Lolita sudah lahir.

Ayah jelas tidak terima, mereka bercerai. Proses perceraian mereka makan waktu empat tahun, dan sehari setelah resmi, Ayah menikah lagi dengan seorang wanita bernama Selena dan pensiun, meninggalkan beban perusahaan kepada Estes yang baru lulus. Ayah pergi jauh, ke tempat apapun yang ia suka bersama Selena dan sekali-kali berkunjung. Sejak hari mereka bercerai, kami bertiga tidak pernah melihat atau mengetahui keadaan ibu lagi.

Sudah dua tahun hidupku begini; sekarang usiaku enam belas, Estes dua puluh empat dan Lolita enam tahun. Kami tinggal bertiga di rumah lama Ayah dan Ibu.

***

"Miya! Saya sampai!" Seru sebuah suara familiar di telinga Miya yang runcing. Gadis itu turun dan membuka pintu, ia mengenakan selembar kaos hitam dan jins robek. Wajahnya terlihat seperti tak tidur semalaman.

"Selamat datang, Ayah, Tante Selena. Kak Estes dan Lolita masih tidur, Ayah mau Mi buatkan kopi?"

Pria itu menggeleng.

"Buatkan teh saja. Dan sudah kubilang, relakan jalang itu; Selena adalah ibu baru kalian berdua," jawabnya dingin. Selena menempelkan tubuhnya pada sang adam, Miya memutar bola matanya. Ia lalu merebus air untuk membuat tehnya.

"Panggilkan juga Estes- suruh dia turun. Ada yang perlu Ayah bicarakan dengan kakakmu."

Miya menuang air panas yang sudah ia sesuaikan suhunya ke poci teh, lalu berjalan ke kamar Estes di loteng lewat tangga samping yang kecil.

"Kak Es Teh, bosmu datang. Cepat bangun," ucap Miya jelas sambil menarik dan melipat selimut Estes. Estes mengerang, mengulat. Ia lalu duduk dan mengucek matanya.

"Harus banget ya? Huuh-"

Miya melempar selembar kemeja padanya.

"Setidaknya cuci wajah dan sikat gigimu. Jangan menemuinya dengan kaos dalam begitu, itu tak sopan. Lalu ikat rambutmu yang rapi," ucap Miya panjang lebar; ia kembali ke dapur dan membawakan poci teh beserta tiga gelas ke meja tamu. Miya menuangnya satu persatu dengan rapi, lalu pergi tanpa basa basi lagi.

***

Setumpuk pekerjaan rumah dan proposal berbaris di meja Miya, menunggu untuk dikerjakan. Belum lagi rapat OSIS lewat chatroom yang terus berisik dari ponsel pintarnya.

"Miya, kamu gak makan malam?" Tanya Estes. Ia masuk kamar dengan semangkuk mi instan.

"Tidak usah kak, tak apa. Miya sudah ada kopi," jawabnya pelan. Miya terus berkutat sampai akhirnya tidur jam tiga pagi.

***

Mentari yang menyingsing fajar membangunkan sang gadis bersurai putih dari tidurnya. Miya mengerjapkan matanya dan langsung bangun, tak makan waktu lama.

Deru nafasnya dipercepat, sepotong roti bakar dilahapnya dengan cepat sambil berlari. Miya membiarkan Ducati hitamnya melesat dan menyalip di jalan raya.

"Haah, haaaaaah, syukurlah-" gumamnya pada diri sendiri saat melihat jam tangannya yang menunjukan pukul enam pas. Butuh lima sampai sepuluh menit mengebut perjalanan, bel sekolah berbunyi pukul setengah delapan. Sebagai seorang ketua OSIS, Miya harus bisa datang lebih pagi dan pulang lebih sore dari anak-anak SMAN 3 Moniyan.

Seragamnya agak berantakan, tanpa dasi. Bagian dadanya ketat, rok abunya dipendekkan tepat di atas tempurung lutut. Miya memasukkan helmnya ke dalam kompartemen jok motor, mengeluarkan dasi cadangan dari tasnya. Miya mengenakannya di parkiran sekolah, lalu berjalan masuk dengan tas punggung serta map F4.

"Selamat pagi bu," sapanya kepada salah seorang guru yang lewat sambil tersenyum. Miya masuk ke dalam kelas XI IPS A, meletakkan tasnya dan langsung pergi lagi ke ruang OSIS.

Kosong melompong kecuali Layla yang sedang bermain Mobile Legends. Miya menepuk punggungnya pelan.

"Telfon anak-anak, kita bahas lagi soal MPLS. Semua persiapan sudah beres kan?" Tanyanya datar. Layla meletakkan ponselnya dan membuat pose dengan ibu jari.

"Siap, ketua!"

***

...dan ini adalah sisi sang Ketua OSIS.

dan ini adalah sisi sang Ketua OSIS

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kak OSIS! (Miya x Alucard) Unstable UpdateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang