TRINGGGGG... TRINGGGGGG...TRINGGGG...Suara notif ponsel beberapa kali berbunyi nyaring, hingga membuat beberapa pasang mata reflek menatap kearah empu pemilik ponsel itu.
"Wah dia gadis yang memiliki IQ tertinggi di Universitas Indonesia bukan?"
"Siapa sih? ponsel bunyi bukannya diangkat, malah di diemin. Berisik tau"
Banyak pembicaraan yang mengarah padanya, seperti itulah ucapan mereka yang terdengar oleh gadis itu.
Gadis itu adalah Nindia Icyvara, sang pemeran utama, pangil saja dia 'Nindi'.Kedua mata Nindi tak lepas dari ponselnya yang sempat mengusik para pengunjung kafe yang lumayan rame di weekend kali ini. Nindi bersegera mengangkat telpon yang sedaritadi sudah mengganggunya.
"Kamu kemana aja sih? pagi-pagi udah ngilang." Belum saja Nindi menyapa orang yang menelponnya, disebrang sana sudah ada sahutan nyaring yang menghampiri telinganya. Nindi sudah yakin pasti yang menelpon adalah Ibunya. Salah satu orang yang paling overprotective jika berkaitan dengan Nindi adalah Ibunya.
"Ya ampun, Ma. Ini weekend lagian gak ada aktivitas kan di rumah." Sahut Nindi lemas, seperti itulah kehidupan Nindi, dia selalu dikekang tak dapat menemukan jati dirinya secara bebas.
"Kamu dimana sekarang? biar Mama jemput." Tanya empu disebrang sana lagi.
"Nindi bisa pulang sendiri Ma, Nindi ada di kafetaria sebrang jalan kenangan.""Ya udah buruan pulang, kamu gak bisa ngartiin Mama. Mama khawatir sama kamu, mangkanya lain kali pamit dulu, biar Mama bisa nganterin." Celoteh wanita paruh baya itu lagi, jika sudah mengomel ia tak kenal henti.
"Iya Ma, Nindi mau pulang." Jelas Nindi penuh kepasrahan, dan langsung memutuskan panggilan secara sepihak, jika tak segera dihentikan percakapan tadi pasti makin panjang, omelan wanita paruh baya itu tak akan segera berhenti.
***
"Ma, Nindi pulang," seru Nindi dengan nada lemahnya.
"Dari mana saja sih kamu? keluar gak bilang-bilang Mama, lain kali pamit sama Mama, biar Mama gak khawatir seperti ini" omelan Ibu Nindi langsung menyambut kehadirannya.
"Tadi Nindi sudah mengatakannya Ma, Nindi di kafetaria sebrang jalan kenangan ma," jawab Nindi bertambah malas.
" Awas- ." Ucapan Ibu Nindy terpotong karena ulah anaknya itu.
" Udah ah laper Ma, Nindi mau makan," potong Nindi memberhentikan omelan Ibunya itu.
Kehidupan Nindi begitu membosankan, dia selalu berkutik dengan laptopnya bahkan dihari minggu, Nindi selalu saja membuat naskah novel tanpa henti, Nindi tak pernah ingat untuk makan jika sudah bertatapan dengan laptop, yang Nindi ingat hanyalah persediaan kopi yang harus cukup untuk semalaman.
Beruntung Nindi memiliki Ibu yang cerewet, sehingga Nindi masih bisa makan karena perintah dari Ibunya itu, coba bayangkan saja jika Ibu Nindi tak sedikitpun peduli kepada anaknya, badan Nindi pasti sudah sangat mirip dengan tengkorak hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIRIMU YANG BERBEDA
Teen Fiction"Mengapa kau menangis?" tanya pria itu panik, dia Nathan tapi mengapa dia bersikap seolah-olah tak mengenal ku, seolah-olah dia tak pernah melakukan sesuatu kepadaku. "Nathan?" panggil ku, aku tak menggubris pertanyaannya tadi. " Nathan? dari mana...