CHAP 9

425 15 0
                                    

Membentang didepanku bukan lagi tanjakan terjal melainkan tangga batu. Kabut tipis melayang dipuncak anak tangga. Sumber cahaya hanya berasal dari api obor di kanan kiriku. Gending gamelan tadi terdengar jelas sekarang, sumbernya ada diujung tangga ini. Tapi aku tak bisa melihat apapun, selain tangga batu ini, sekitarku hanyalah kabut kelabu.

Aku panik saat menyadari aku berdiri disini seorang diri. Orang itu tidak ada dimanapun. Tubuhku langsung bersimbah keringat dingin. Aku terjatuh diatas lututku, kakiku yang gemetar terlalu lemah untuk berdiri.

Dan bau bunga kantil itu datang lagi.

Dengan kedua tangan aku menyeret tubuhku kesamping, kakiku sudah benar-benar lemas. Tujuanku secepatnya bersembunyi dibalik tirai kabut sebelum pemilik wangi bunga kantil itu muncul.
Ternyata tertutup dalam kabut adalah hutan. Tubuhku beringsut dibalik pohon terdekat. Nafasku kembang kempis tak beraturan.

Wangi bunga kantil itu semakin pekat. Bulu kudukku meremang saat kuberanikan diri mengintip ke arah tangga batu itu. Sesuatu melayang dari tangga terbawah , berhenti sebentar di titik dimana tadi aku berdiri, lalu melayang keatas anak tangga dan hilang dibalik kabut. Itu adalah sosok nenek tua. auranya sedemikian mengerikan, hingga aku langsung menggigil hebat. Dia mengenakan pakaian serba hitam. Dan rambutnya luar biasa panjang. Bahkan saat tubuhnya hilang dibalik kabut, rambutnya masih terlihat bergerak selama beberapa saat.

Aku benar-benar cemas dan luar biasa panik. Tidak tahu harus bagaimana dan kemana. Aku menyadari kebodohanku sekarang. Aku terlalu bergantung pada orang itu. Padahal sejak di Cibunar aku sudah bertekad akan melakukan ini sendiri.

Sekarang aku disini, sendiri. Tangga batu, obor, kabut kelabu, sepenuh hati aku sadar, aku tersesat di alam lain. Aku terus menerus mengingatkan diri sendiri, aku harus tenang, aku harus pulang, aku tidak boleh mati disini.

Ketenanganku cuma berhasil beberapa detik. Saat kabut sedikit menipis kulihat sesuatu yang nyaris membuatku histeris jika saja tidak ada tangan yang membekap mulutku. Orang itu sudah ada disampingku, tangannya masih membekap mulutku. Dia memberi aba-aba untuk tenang.

Baru kusadari, didepanku tergeletak banyak tubuh pendaki gunung. Satu tubuh malah tepat ada disampingku. Yang lain terserak tak beraturan. Mereka semua tertidur. Hanya saja kulitnya sepucat mayat

Orang itu menyuruhku berdiri dengan tenang. Aku diperintahkan mengikutinya. Dia berjalan menjauhi tangga batu, masuk menembus kegelapan hutan. Aku berjingkat-jingkat berusaha tidak mengeluarkan suara apapun.

Seekor gagak diatasku. Melompat dari dahan ke dahan seakan mengikuti.

"Abang dari mana tadi? I... Itu siapa bang? Me.. Mereka tadi? " Suaraku gemetar bertanya.

Tidak seperti biasanya, dia menjawab dengan berbisik, "ini bukan tempat lu lagi boy, jangan sampai ada yang tau kita disini."

Aku mengangguk pelan. Tapi masih tetap menunggu penjelasan.

"Itu pendaki yang.... Udahlah, ngga perlu tau. Pokoknya jangan sampe mereka bangun." Bisiknya lagi.

Kami berjalan semakin jauh masuk kedalam hutan. Aku tercengang melihat agak jauh di samping kananku, menjulang diantara hutan dan kabut sebuah bangunan besar. Ditengah malam seperti ini, bangunan besar dengan menara-menaranya yang tinggi tanpa penerangan sama sekali terlihat bagai raksasa. Rupanya dari sanalah sumber suara gending-gending itu.

Aku membuang muka, tidak ingin membayangkan mahkluk-mahkluk apa yang ada didalam sana dan kembali fokus melihat punggung orang itu yang berjalan didepanku. Suasana sekitar hening mencekam. Tidak ada satu pun bunyi suara binatang hutan. Kabut tipis melayang rendah diantara pohon-pohon cantigi.

Lalu mendadak kita sampai ditepi hutan. Orang itu berhenti. Dia memberiku aba-aba untuk mundur beberapa langkah dan bersembunyi dibalik semak.

Didepan kami menghampar tanah lapang yang luas. Aku tak tahu seberapa luasnya karena tertutup kegelapan dan tirai kabut.

"Boy, kita udah sampe. Mulai dari sini lu jalan sendiri. Inget untuk apa lu jauh-jauh ke sini kan?" Orang itu membuka pembicaraan.

"Iya bang. Ngambil pembalut yang dibuang Ayu." Kataku.

"Jalan lurus aja. Jangan bikin keributan. Jangan narik perhatian. Jangan sampe Nyi Linggi tau keberadaan lu."

Aku mengangguk mengerti, "tapi bukannya Nyi Linggi baik bang, kan dia yang nolong waktu ada Kalong Wewe.. " Tanyaku.

"Gua jelasin ya. Nyi Linggi yang kasih syarat untuk ambil lagi sampah sialan tadi. Dia yang bikin lu sampe naik kesini boy." Jawab orang itu, "ada maksudnya kenapa dia nolong lu tadi. Dia mau lu sampe istananya tanpa luka apa-apa."

"Gimana maksudnya bang." Tanyaku masih tidak mengerti.

"Syarat itu cuma akal-akalan aja boy. Nyi Linggi itu mau ngunduh mantu. Ngerti ga lu? Dia itu mau ngawinin?"bisiknya.

"Siapa yang mau dikawinin bang?" Aku masih tidak paham arah pembicaraanya.

"Elu boy."

Bagai tersambar petir aku mendengar jawabannya. Jadi aku dengan lugu masuk perangkap. Tubuhku sontak menggigil.

Orang itu mengeluarkan rokok dari kantongnya, menjepit dimulut lalu membakarnya. Asap tipis mengepul dari bibirnya. Aku terpana, dalam keadaan begini bisa-bisanya dia merokok dengan tenang.

Lalu kesadaran menghantamku. Aku beranikan diri bertanya padanya. "Jadi abang nganter saya kesini biar saya bisa dikorbanin bang?" Tanyaku.

Dia dengan kurangajar menghembuskan asap rokoknya ke wajahku. "Gua ada disini untuk mastiin lu naik dengan selamat untuk ngambil sampah sialan itu biar temen lu bisa ketolong. Dan mastiin lu turun dengan selamat.''jawabnya dengan tenang, " Cuma lu yang bisa nolong temen lu. Dan cuma gua yang bisa nolong lu."

"I.. Iya, maaf bang." Aku menyesali keraguanku.

"Sekarang lu jalan. Lurus aja kedepan. Kalo udah ketemu, sampahnya lu bungkus kain putih yang lu bawa. Langsung balik kesini." Perintahnya.

Aku mengangguk mengerti. Lalu dengan mengendap-endap aku melangkah maju menuju tanah lapang ini.

Kabut bagaikan punya nyawa sendiri, bergerak-gerak pelan tanpa ada angin. Semakin jauh ku melangkah kabut kelabu ini semakin tebal. Sementara dikejauhan tampak siluet hutan dan bayangan gelap bangunan istana Nyi Linggi.

Aku terkesiap saat mataku melihat sesuatu dibalik kabut didepanku. Dalam diam aku berhenti lalu berjongkok sambil mataku tetap memandang siluet didalam kabut itu.

Pelan aku menyeret kakiku bergerak mendekat. Keringat menetes didahiku. Semakin dekat, bayangan itu mulai terlihat semakin jelas. Nampak seperti gundukan sesuatu.

Saat akhirnya kabut tersibak, aku terkejut mendapati apa yang kulihat. Itu adalah kuburan baru. Nampak dari tanahnya yang masih merah dan gembur. Diatasnya tergeletak begitu saja tampaknya adalah pembalut yang kemarin dibuang Ayu. Dari pembalut itu merembes darah segar berbau anyir. Lelehan darah itu mengalir kebawah hingga akhirnya membuat genangan darah dibatas kabut.

Tubuhku mengejang membaca nama yang tertulis di nisan kuburan itu. Nama Ayu tertulis jelas disana, lengkap dengan tanggal lahirnya. Bulu kuduk ku berdiri melihat tanggal kematiannya adalah tanggal hari ini.

Dengan tangan gemetar kukeluarkan kain putih dari kantong celanaku. Kuangkat pembalut yang masih terus meneteskan darah itu dan segera kubungkus dengan kain tadi.

Seiring kabut yang semakin menipis, sudut mataku menyadari ada sesuatu yang bergerak-gerak. Aku berteriak histeris dan jatuh terduduk saat kabut menyibakkan tirainya.

Nampak sesosok makhluk yang sedang menjilati darah ditempat genangan tadi. Wajahnya penuh darah. Lidahnya panjang terjulur. Tangan dan kakinya menekuk seperti kucing. Rambut panjangnya lepek dan matanya menatap lurus kearahku.

Dengan kaki gemetar aku beringsut mundur dengan perlahan. Sebisa mungkin tidak membuat gerakan mendadak. Mata makhluk itu terus saja menatapku yang dengan pelan bergerak mundur. Tapi dia tetap disana. Lidahnya sudah berhenti menjilat darah. Tapi dia tetap disana.

Lalu kurasakan sesuatu yang lembut tersentuh punggungku. Aku langsung berhenti dan dengan tegang menengok ke belakang. Tubuhku membeku. Berdiri tepat dibelakangku dengan rambut terurai panjang hingga ketanah.
.... Nyi Linggi....

TEROR MISTIS DI CIREMAI!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang