Prolog

334 44 21
                                    


"STOP! Plish! Sha capek denger kalian berantem terus! Kalo kayak gini terus, Sha juga mau keluar dari rumah!"

Vanesha Aqilia Robert, panggil saja Lia tapi jika dengan keluarganya ia sering di sapa dengan nama Sasha. Gadis berusia 17 tahun ini tidak pernah merasakan keharmonisan dari keluarganya. Jika orang lain menganggap keluarga adalah tempat ternyaman, itu tidak berlaku bagi Lia.

"Mau ikut-ikutan kakakmu jadi anak durhaka?" bentak Arya Robert [Papa Lia].

"Kakak enggak durhaka! Kalian yang terlalu mengekang kami! Kalian terlalu sibuk dengan urusan kalian! Apa pernah kalian ngurusin sarapan kami? Apa pernah kalian tanya gimana keadaan kami? Bahkan kakak kecelakaan pun kalian gak perdulu, kemana kalian? Kakak koma hampir gak selamat, apa kalian perduli? Hah?! Kemana kalian? Bisnis? Uang lagi ujung-ujungnya! Kita gak butuh uang banyak, kita cuma pengen di perhatiin kayak anak-anak yang lain! Hiks hiks."

Lia bukanlah gadis tangguh, ia pasti akan meluapkan emosinya dengan menangis. Cengeng? Terserah kalian mau menganggapnya seperti apa. Haruskah gadis 17 tahun memikul beban seberat ini? Pantaskah ini semua di bebankan pada diri Lia?

"Kurang apa kami sama kalian? Kalian mau minta apapun kami turuti! Dari kecil kalian kami yang membiayayai, apa bisa kalian menggantinya?"

Lia hanya bisa geleng-geleng kepala dengan air mata yang turun dengan deras, "kalian tidak ikhlas? Saya bisa mengembalikannya jika kalian bernar-benar tidak ikhlas."

"Bukan seperti itu, Nak. Papa cuma mau kamu dan kakakmu menurut dengan kami." ucap Dira Robert [Mama Lia] mencoba menenangkan suasana yang sudah panas.

"Kurang menurut seperti apa lagi? Hah? Sudah dari kecil kami menjadi boneka kalian. Kalian seenaknya menjodohkan kakak hanya untuk bisnis? Sama saja kalian menjual anak kalian sendiri! Apa saya juga akan di jual? Kalian terlalu memikirkan bisnis! Kalian lupa kami ini anak kalian, bukan hanya sekedar boneka!." Ucap Lia dengan suara paraunya.

"CUKUP! Kalo kamu memang mau pergi dan jadi anak durhaka, SILAKAN! Jangan pernah injakkan kakimu di sini lagi!"

Kata-kata itu keluar langsung dari mulut seorang Papanya. Air mata gadis itu semakin tidak bisa di kendalikan, dia sudah di usir oleh orang tuanya sendiri? Apa ini yang namanya keluarga? Apakah tidak boleh ia merasakan memiliki keluarga seperti teman-temannya yang lain? Inikah keluarga yang katanya tempat ternyaman?

"Bicara apa kau ini, Arya?!"

"Biarkan saja. Anak-anak kita memang tidak tau diri! Menyesal aku punya anak seperti mereka!" ucap Robert tenang dan sangat menusuk.

Bagai di sambar petir, tenggorokan Lia tercekat, dadanya bergemuruh menahan emosi yang kiat mencuat. Apa? Pria tua itu menyesal memiliki anak seperti Lia? Bukankan seharusnya Lia yang menyesal memiliki pria tua itu?

"Bukankah saya yang harusnya menyesal memiliki orang tua seperti anda?"

Plak!

Satu tamparan keras mendarat dipipi kanan gadis itu dan meninggalkan bekas merah. Selama 17 tahun ia hidup baru pertama kali ia merasakan tamparan dari seorang Papa, biasanya mereka hanya akan beradu mulut. Tapi kali ini, tidak! Arya sudah bermain tangan.

"Arya! Kau apa-apaan?" pekik Dira.

"Anak seperti ini memang pantas mendapatkan pelajaran!" tegas Arya.

"Dengan tamparan ini saya semakin yakin bahwa saya menyesal memiliki orang tua seperti anda!"

Plak!

Lagi! Tangan kekar dan besar Arya mendarat dipipi sebelah kiri meninggalkan bekas merah di sana. Lengkap! Kedua pipinya sekarang sudah mendapatkan bekas merah. Air matanya tambah deras mengalir, rasa sakit dari tamparan itu sudah tidak ia rasakan, yang ia rasakan hanya hatinya yang teriris.

"Jaga bicaramu, Bodoh!"

"Terima kasih! Saya keluar dari rumah ini!" pungkas Lia dengan suara bergetar.

"Nak! Kami sekarang hanya punya kamu, kakakmu juga sudah tidak mau tinggal di rumah ini. Jangan tinggalkan kami, Nak." pinta Dira.

"Biarkan saja! Anak itu tidak akan bisa hidup di luar sana sendiri, nanti juga akan kembali lagi."

"Saya tidak akan kembali!" tegas Lia.

"Ah iya, ingatkan saya untuk mengganti biaya yang sudah kalian keluarkan selama 17 tahun menampungku." lanjut Lia sarat akan penekanan.

Prank!

Arya menyambar Vas bunga di sampingnya dan benda apapun untuk dilempar ke sembarang arah.

"Pergi kau! Dasar anak tidak tau di untung!" Tegas Arya dengan sisa amarahnya.

"Arya! Jangan gila kau! Dia anak kita, jangan sampai dia pergi seperti Julian!" pekik Dira dengan suara parau, ia sudah tertunduk di lantai dengan air mata yang membasahi pipi. Haruskah Lia juga pergi?

"Jangan bela anak kurang ajar seperti dia! Dia pantas menerima semua ini."

"Ah saya memang pantas mendapat semua ini! Dan ku harap anda juga bisa bahagia dengan uang-uangmu itu." sarkas Lia.

Bugh!

Bukan lagi tamparan yang di dapat Lia, ia mendapat pukulan di sudut bibirnya dan membuat Lia jatuh tersungkur.

"Arya! Kau benar-benar sudah gila!" pekik Dira dan membantu Lia berdiri.

Lia mengusap darah segar yang keluar dari sudut bibir menggunakan ibu jarinya, "tidak sekalian saja anda bunuh saya? Bukankah anda menyesal memiliki anak seperti saya?"

"Arrrggghhhh." erang Arya mengusap wajahnya dengan kasar.

"Pergi kau! Jangan pernah kembali! Dan kau bukan anakku lagi!" lanjutnya dengan tegas.

"Oh oke, saya memang tidak pernah menjadi anak anda." sarkas Lia.

"Satu lagi, makasih sudah mau menumpungku selama 17 tahun ini." detik selanjutnya Lia melangkah pergi dari hadapan Arya dan Dira tanpa membawa barang apapun dari rumah ini.

"Vanesha plishh jangan pergi! Jangan tinggalin Mama!" teriak Dira dengan sisa-sisa suaranya.

"Kita lihat saja nanti, anak itu pasti akan memelas kembali."

"Kau gila, Arya!"

"Liaaa! Shaaa! Vaneshaaa!!"

🍋🍋🍋

Haii,

Gimana? Kasian Lia:((

Gimana nih kehidupan Lia setelah pergi?

Cerita ini hanyalah karangan halu author:)


Owh iya btw terima kasih atas partisipasi kalian dalam cerita pertamaku ya.

Cerita ini akan rajin UP setelah cerita pertamaku selesai, atau lihat nanti deh kedepannya gimana hehe.

Luvyu💜

My Ice Girl [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang