Happy Reading✨
•
•
•"Astaga ya ampun, Lia! Kamu kenapa? Ya ampun itu bibir kamu berdarah, pipi kamu merah gitu. Astaga masuk dulu ayok." Racau Julian yang melihat adik kesayangannya berkunjung ke apartemennya dengan kondisi yang sangat tidak baik.
Julian Aldram Roberts, anak pertama dari keluarga Roberts. Usianya hanya terpaut 3 tahun lebih tua dari Lia, setelah satu tahun yang lalu ia memilih untuk keluar dari rumah mewah nan elegan itu, ia tinggal di salah satu apartemen sederhana dan merintis usaha sendiri.
"Kak." Lirih Lia.
"Bentar kakak ambil obat merah dulu ya?" Ucap Julian dan ia berlalu meninggalkan Lia untuk mengambil obat merah.
"Sini kakak obatin ya lukanya? Kok bisa kayak gini sih dek?" Dengan hati-hati Julian mengobati luka kecil di bibir Lia, dari dalam hatinya ia terus memikirkan orang yang sudah melukai adiknya tersebut.
"Pelan-pelan kak." Rengek Lia.
"Kok bisa kayak gini sih dek?" Entahlah sudah berapa kali pertanyaan itu keluar dari mulut Julian namun Lia belum juga ada niatan untuk menjawabnya.
Mengingat kejadian beberapa jam yang lalu membuat air mata Lia mengalir begitu saja. Siapa yang salah? Benarkah pilihan Lia ini? Oh Tuhan maafkan Lia jika ia terkesan melawan pada orang tuanya.
"Eh? Kok malah nangis sih dek?" Tangan Julian terulur untuk menghapus air mata Lia dengan ibu jarinya.
"Kak?" Panggil Lia dengan suara yang sangat pelan dan bergetar.
"Iya?"
"Hiks hiks" Tidak bisa! Lia belum bisa untuk bercerita, biarlah air mata yang mewakilinya.
Julian sangat mengerti dengan sifat adiknya itu, ia menarik tubuh mungil Lia dan membawanya dalam dekapannya. Biarlah gadis kecil ini tenang dalam dekapannya, ia tau jika adiknya ini sangat perasa dan rapuh.
"Hiks hiks hiks hiks" Lia semakin terisak dalam dekapan Julian, baginya menangis adalah salah satu cara untuk meluapkan segala emosinya.
"Menangislah!"
"Hiks hiks hiks" seperti tidak ada habisnya air mata itu terus saja keluar, bayang tamparan dan pukulan itu semakin membuatnya keluar dengan deras.
Setelah di rasa adiknya itu cukup tenang, Julian menangkup kedua pipi basah Lia dan menatap mata yang terus mengalirkan cairan bening itu dengan sendu, "Cerita sama kakak, kenapa dek?"
"Pa-pa kak, hiks hiks." Bibir mungilnya itu tidak bisa mengatakannya.
"Papa yang udah buat kamu kayak gini?" Ibu jari Julian terus berusaha menghentikan air mata yang mengalir semakin deras.
Lia mengangguk pelan sangat pelan, "Terus Lia di usir kak sama Papa, hiks."
Bodohnya pria itu, di mana hati nya? Gadis ini masih sangat kecil, Papa seperti apa yang tega melakukan hal seperti ini pada anaknya sendiri? Julian tidak habis pikir dengan apa yang telah di perbuat Papanya itu.
"Jangan nangis lagi ya? Lia sama Kakak sekarang, Lia aman sama Kakak." Ucap Julian berusaha tenang.
"Lia tinggal di ini aja ya? Jangan balik lagi ke rumah itu." Lanjutnya.
Air mata Lia sudah mudah mulai habis namun isakannya masih belum berakhir, "Papa jahat, Kak. Lia benci Papa!"
"Heii? Vanesha Aqilia Roberts, dengerin kaka sini." Tangan Julian meraih tangan Lia dan menggenggamnya kuat "Lia tau gak? Waktu kecil itu Papa sama Mama sayang banget sama Lia, sampe kakak di lupain. Tapi kakak ngerti itu, kakak juga tetep sayang Papa Mama sayang Lia juga. Bahkan sampai sekarang kakak masih sayang Papa Mama. Jadi, Lia juga enggak boleh benci Papa Mama, oke?" Dengan sangat berat Julian menekan segala emosinya untuk adiknya.
"Kakak masih sayang Papa Mama beneran? Kan mereka jahat."
Pelan Julian membuang nafasnya dan mengambilnya kembali dalam-dalam, "Bener dong, Papa Mama juga pasti masih sayang kita. Cuma caranya sekarang udah beda, menurut Papa mungkin itu sudah baik tapi enggak buat kita."
"Nampar, mukul, ngusir anaknya sendiri itu baik ya?"
Otak Julian berputar sangat cepat, benar kata Lia, orang tua mana yang tega seperti itu? Tapi tetap saja mereka orang tua dan kita sebagai anak harus menghormatinya.
"Lia mandi dulu ya? Bersih-bersih, nanti pake kemeja kakak aja dulu, besok baru kita beli baju buat Lia. Sama daftar sekolah Lia ya?" Karena otaknya tidak mampu memberi jawaban yang tepat Julia berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Lia pindah sekolah kak?" Isakannya sudah berhenti satu menit yang lalu, namun tetap saja matanya masih basah dan sekarang sembab.
"Gapapa kan? Cafe kakak masih sepi jadi belum mampu buat bayar di sekolah itu. Lia mau kan?" Iya Julian memang baru memulai usaha Cafe, jadi wajar saja jika masih sepi. Sudah beberapa pekerjaan ia jajahi namun semuanya tidak cocok untuknya sampai akhirnya ia memilih membuka Cafe.
"Gapapa sih kak, Lia malah seneng. Lia tuh sebenernya pengen banget masuk School Light, udah pernah bilang sama Papa tapi gak boleh."
"School Light ya? Gapapa juga sih kalo kamu mau, besok kita daftar kesana ya?"
"Tapi Lia pengen di asramanya kak." Dengan manjanya Lia menautkan kedua jari telunjukknya.
"Enggak ya! Gak boleh kalo di asramanya." Larang Julian.
"Boleh ya? Plishh, Lia janji jaga diri kok."
"Janji ya?"
Dengan sangat semangat Lia mnganggukkan kepalanya.
"Ya udah besok kita daftar sekalian masukin kamu di asrama. Sekarang Lia mandi dulu sana."
Sebelum Lia berlalu menuju kamar mandi ia terlebih dahulu memeluk kakaknya dengan rasa senang yang amat senang. Kakaknya memang lebih mengerti dirinya ketimbang Papa dan Mama yang hanya sayang dengan uang-uangnya.
🍋🍋🍋🍋
Sorry guys lama banget UPnya:((
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ice Girl [Hiatus]
FanfictionIni cerita tentang gadis 17 tahun yang belum pernah merasakan keharmonisan dalam keluarga, keluarganya terbilang kaya tapi tidak dengan kasih sayang, ia tak pernah mendapatkannya. Gadis itu memilih untuk hidup mandiri dan tinggal di Asrama, seolah m...