Eps. 1 : Gara-Gara Nilai Ulangan

34 1 0
                                    

Semburat cahaya sang raja siang telah mewarnai pagi di sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Slamet, Desa Cendana tepatnya.

Disaat orang lain sudah memulai harinya, Ncur masih saja betah memejamkan netranya untuk menyelami alam mimpinya yang tak nyata. Nampak ia masih terlelap di atas sebuah bangku panjang teras rumah dengan sarung cokelat kesayangannya.

Dengan langkah gontai, Didik berjalan mendekati ambang pintu seraya menguap dan merenggangkan sendi-sendi tangannya, khas orang yang baru terbangun dari alam mimpinya. Tak sengaja ia melihat  adik iparnya yang masih terbaring nyaman di atas bangku panjang depan rumahnya.

"Tuh anak, jam segini kok belum bangun. Padahal udah waktunya buat cari rumput," ujarnya seraya berkacak pinggang menatap Ncur sang adik ipar. "Dasar pemalas, BONTO."

Fyi. Bonto adalah bahasa sehari-hari yang dipakai anak-anak di desa tersebut. Sebenarnya, kata Bonto sendiri memiliki arti lapuk. Namun, untuk saat ini kata Bonto sudah sangat melekat dalam keseharian warga sekitar tanpa mengingat artian sebenarnya.

Kesal dengan perilaku Ncur yang pemalas, bapak tiga anak tersebut menghampiri sang adik ipar dan duduk di tepian kursi panjang.

"Woy!" serunya seraya melempar pecinya tepat di atas perut Ncur. Sontak saja hal itu membuat Ncur terkejut dan sedikit gelagapan. "Ada apa, sih?"

"Udah jam berapa ini?" tegas Didik.

"Masih pagi gini kok dibangunin? Masih ngantuk tau," ujar Ncur dengan nada malas.

"Ngantuk, ngantuk! Tadi malem kan tidur cepet. Bangun!"

Dengan amat terpaksa Ncur menuruti kemauan kakak iparnya, ia bangkit dan mulai duduk di samping Didik. Kembali ia meyakinkan kakak iparnya dengan statement bahwa saat ini masih terlalu pagi untuk membangunkannya.

"Ya Allah ... pagi gundulmu?! Udah jelas matahari ada di atasmu itu," jelas Didik tak kalah meyakinkan.

Tak mau kalah, Ncur kembali berasalan dengan berdalih bahwa belum ada kata pagi sebelum ia sarapan. Namun, ternyata Didik sama sekali tak peduli dan justru meminta Ncur untuk bergegas mencari rumput karena kambing peliharaannya yang sudah ramai meminta sarapan bak demo di depan gedung DPR.

"Males ah, ntar lemas lagi," cicit Ncur.

"Sarapan singkong aja di kebun," saran Didik. Apa maksudnya mengonsumsi singkong mentah? Kalau kata para tetua kampung sih udah hal biasa, namun itu hanya ada di jaman mereka. Jaman sekarang, sudah jarang orang yang melakukannya.

"Maksa, nih?" tanya Ncur.

"Iya sana, gih."

Dengan sarung kesayangan yang masih menyelimuti tubuhnya, Ncur melangkah menjauh dari kakak iparnya yang masih nampak kesal akibat ulahnya yang sering bangun terlambat dari yang lain.

Rasa kesal Didik kian memuncak kala mendapati Ncur kembali melanjutkan tidurnya di tempat berbeda.

"Bener-bener bonto nih anak, kok malah tidur lagi, sih?" Didik meraih sebuah kursi yang tak jauh dari tempatnya berdiri dan tak segan melemparnya guna membangunkan Ncur.

"Apa, sih?" tanya Ncur gelagapan namun terselip nada kekesalan di balik ucapannya.

Kembali Ncur harus mendapat perintah sekaligus omelan yang sama dari kakak iparnya, mau tidak mau ia pun harus mengiyakan.

****

"Pak, berangkat dulu ya," pamit Beto, putra kedua Didik yang kini sudah memasuki jenjang menengah atas.

RT6 Official Wattpad Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang