"Aksa sudah jalan dari pagi tadi, Neng."Ilona menghela napas. Seharusnya dia tahu, usahanya untuk memberi kejutan pada Aksara pagi-pagi begini akan sia-sia karena laki-laki itu suka sekali berangkat pagi ke kantor. Gadis itu berpamitan pada Mbok Sri yang membukakan pintu untuknya, lalu kembali ke mobil. Dia meletakkan kembali kotak besar di jok sebelahnya.
Dia memandangi rumah Aksara sebentar, masih mengingat jelas tepat dua tahun lalu Aksara memintanya menjadi pacar di teras rumahnya. Waktu itu hujan deras, Ilona menjemput Aksara yang kebetulan tidak bawa kendaraan ke tempat kerjanya karena mobilnya masuk bengkel. Mereka berdua tengah meneduh di teras, dengan handuk menyelimuti pundak mereka yang basah.
"Na, jadi pacar aku ya."
"Hah?"
"Jadi pacar aku," ulang Aksara, dengan nada yang lebih serius kali ini. "Aku gak tau jadi apa aku tanpa kamu, Na."
Dua tahun.
Dia tahu itu bukan waktu yang sebentar, bukan waktu yang lama juga. Tapi cukup lama untuk mengenal pacarnya, untuk pacarnya mengenal dia. Ilona sadar, dirinya jauh berubah dari pertama kali mereka bersama. Ilona tahu, Aksara berhak marah padanya. Mungkin—bukan mungkin lagi—dia memang sudah kelewat batas.
Gadis itu menghela napas lagi, memutuskan untuk mengemudikan mobilnya pergi dari depan rumah Aksara dan melaju menuju kantor Aksara.
Pikirannya berkelana kemana-mana. Akhir-akhir ini hubungan mereka memburuk, dan itu karena dirinya. Karena egoisnya dia, meminta Aksa untuk tidak menjauh, untuk tidak setiap saat sibuk, untuk selalu mengabarinya, untuk selalu menyempatkan diri bertemu dengannya.
Dia masih ingat kata-katanya beberapa minggu lalu. Waktu itu mereka bertengkar, lagi. Karena alasan yang sama: pekerjaan Aksa.
"I am happy because I am with you. Don't take that for granted, Sa."
"I won't, Ilona. I promise."
"No, I'm being serious. Please, can you at least spare your free time to be with me? Please?"
Aksara menghela, lalu mengangguk pelan. "Of course. Anything for you. I'm sorry, okay?"
Ilona tersenyum tipis. "I'm sorry too."
Mobilnya berhenti di depan rumah yang dirombak menjadi kantor organisasi non-profit, Pintu Relawan. Tempat yang belakangan sangat Ilona benci. Kantor ini tidaklah besar, karyawannya mungkin hanya sekitar dua puluh orang. Dan Ilona masih ingat dari cerita Aksara, mereka tidak berniat menjadi besar secara ukuran karyawan.
Ilona mengecek handphonenya, tidak ada pesan masuk dari Aksara.
Dia menimbang-nimbang, apakah pagi ini jadi waktu yang tepat untuk menemui Aksara. Di kantornya pula. Aksara tau betapa tidak sukanya Ilona pada kantornya. Menemui Aksa disini mungkin hanya membuat suasana canggung, iya kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara dan Kemala
RomanceAksara Rasyid Malistyo adalah orang yang terbiasa hidup cukup, bahkan lebih. Dari lebihnya hidup Aksara, dia diajarkan untuk senantiasa berbagi kepada yang kurang. Hingga dia tumbuh menjadi laki-laki yang berprinsip, bahwa sekecil apapun kebaikan ya...