"Kara, bangun!!!!", Sara yang merupakan kakak Kara segera menarik selimut Kara begitu saja.
"Apaan sih kak, masih ngantuk nih.", Kara menarik selimutnya kembali.
"Bangunnn, kamu nggak mau telat buat ke sekolahan kan."
"Ya nggak lah.", Kara terbangun dan mengumpulkan kesadaran sebelum beranjak ke kamar mandi.
"Kara, nanti kakak anterin kamu ke sekolah. Lagian SMA kamu nggak terlalu jauh dari kampus kakak.", Sara berujar sambil mengeluarkan seragam sekolah Kara dari lemari.
"Iya, udah biasa itu mah.", Kara keluar dari kamar mandi, begitupun Sara yang juga keluar dari kamar Kara.
***
"Kara udah bangun, Sara.", Lara yang merupakan ibu dari keduanya, berujar begitu Sara tiba di ruang makan.
"Udah bu, lagi ganti baju tuh di kamar.", Sara berujar sambil duduk di salah satu kursi tepat disebelah ibunya.
"Ayah kapan pulang, bu?", Tanya Sara sambil menatap ibunya lekat-lekat.
"Hmm, nanti ayah pasti kasih kabar kok, sayang.", Lara tersenyum penuh arti pada Sara.
"Terserah ibu aja deh.", Sara berujar sewot kemudian mengambil salah satu sandwich yang telah ibunya siapkan.
★★★
Kara berpamitan pada ibunya untuk pergi ke sekolah. Sudah seperti biasa Kara pun berangkat diantar oleh Sara. Dijalan Sara menatap tajam ke arah adiknya memperhatikan Kara dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Tumben pakek kacamata." Sara berujar.
"Ya sekali sekali kak, Gak papa kan." Kara berujar sambil tersenyum berusaha menyembunyikan sesuatu.
Sara masih curiga, namun tak lanjut bertanya karena mobil keduanya sudah tiba di depan SMA Kara. Sara turun dari mobil dan mengantarkan adiknya ke depan pintu kelas. Kara bersikeras menyuruh Sara untuk langsung berangkat. Namun Sara makin ngotot untuk mengantarkan Kara.
"Kara, kelas kamu dimana?"
"Udah dibilang langsung berangkat aja, telat ntar. Jam 06. 50 nih."
"A-apa?" Sara terbelalak dan melirik jam tangannya. Dan benar saja angka di jam tangannya menunjukkan pukul 06.50. Dia hanya punya waktu sepuluh menit untuk bisa sampai ke kampusnya tanpa terlambat. Sara langsung berpamitan dan meninggalkan Kara yang menghela nafas lega.
"Untuk Kak Sara udah pergi." Gumam Kara meneruskan langkahnya menuju kelas. Di kejauhan tampak cowok berambut hitam gelap yang kontras dengan warna kulitnya yang putih melambai kepada Kara. Kara pun berlari girang menghampiri cowok itu yang merupakan sahabatnya bernama Dilor.
"Hai, Kara." Sapa Dilor ramah.
"Hai. Udah lama nunggunya?"
"Belum, Ayo buruan masuk. Ntar kita telat."
"Eh iya, aduh sorry banget. Kakak gue tadi lemot banget nyetirnya." Kara mencari alasan sambil menelusuri koridor menuju kelasnya.
"Ini pada mindahin apaan sih?" Kara melihat beberapa orang yang sedang memindahkan kotak kotak kayu ke dalam mobil box.
"Hmm gatau juga. Kotak tempat bekas teh botol kali." Tebak Dilor ngasal.
Kara mengiyakan, sedikit usil dia mencubit bahu Dilor dan berlari. Dilor pun mengejarnya. Dan tanpa sengaja dia menabrak tangan seseorang. Yap, tangan seseorang yang ingin menghentikannya sebelum dia menabrak orang yang sedang mengangkut kotak kotak kayu itu.
Kara menengadahkan wajahnya, menatap sepasang mata dengan lensa biru milik cowok berambut pirang pemilik tangan yang dia tabrak.
"Hai, Sorry. Tapi gue pikir kalau lo nabrak orang itu haslinya gak akan baik jadi gue hentiin lo. Sorry"
"E-enggak. Gue yang makasih karena lo udah nolongin gue."
"Tapi cara gue kayaknya kurang sopan deh. Sorry ya sekali lagi."
"Iya gapapa kok."
"Eh tunggu, gue murid baru disini. Kenalin nama gue Frank. Dan lo?" Cowok itu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Kara.
"Gue Kara." Kara tidak balas menjabat tangan Frank da langsung berlari menghampiri Dilor yang berdiri mematung tak percaya akan apa yang terjadi.
"Hoy, Bengong." Kara mengetuk dahi Dilor dengan punggung tangannya.
"Eh, Lo gapapa kan?"
"Gapapa, yuk pergi. Ntar telat lagi." Kara beranjak diikuti Dilor dibelakangnya.
Frank terdiam tak bergeming menatap Punggung Kara yang mulai mengecil tertelan jarak. Cowok itu meniup poninya yang jatuh di dahinya sembari mendengkus menuju Kantor Guru.
★★★
Pelajaran berlangsung, guru yang sedang mengajar memberikan mereka tugas kemudian meninggalkan mereka karena ada rapat di ruang kepala sekolah. Kara mulai mengerjakan tugasnya, namun kali ini Kara tak bisa konsentrasi sedikit pun. Cewek itu mulai memikirkan kejadian yang tadi pagi dialaminya. Perlahan wajah Frank mulai membayanginya.
"Ih, apa apaan sih. Kara dia tuh cuma murid baru. Kenapa coba lo mikirin dia kyk gini." Racau Kara dalam hatinya.
Sementara dia berdebat dengan dirinya sendiri. Samar terdengar gadis gadis yang duduk disebelah bangkunya mulai berbisik, bergosip mengenai siswa baru yang katanya tampan bak artis yang nyasar disekolah ini. Tiba tiba, Dilor menepuk bahu Kata dari belakang "Murid baru itu yang nolongin lo tadi kan?"
"Ah nggak, gue gak tau. Murid lama kali yang tadi." Kara berusaha menutupi pembicaraannya dengan Frank.
"Ooh soalnya gue belum pernah liat dia di sekolahan ini. Jadi gue pikir dia murid baru."
"Hehe kan cuman pikiran lo aja."
Dilor tidak mendengarkan ucapan Kara. Dia terpaku pada pergelangan Kara yang terdapat bekas luka "Lo kenpa?"
"Apanya yang kenapa?"
"Itu." Dilor menunjuk pergelangan tangan Kara "Tangan Lo luka."
"Ha, eh. Tapi gue gapapa kok. Dan gue gak tau ini luka asalnya dari mana." Kara memegang lukanya, akan tetapi tak terasa sakit.
Meski luka itu sukup merah dan memar. Akan tetapi Kara tak merasakan sakit meskipun berkali kali dia memukul tangannya. Gadis itu meminta Dilor untuk menyentuh lukanya, namun tetap tak terasa sakit.
"Lu kenapa sih? Ini tuh luka kalo lu pukul pukul ya sakit lah. Aneh banget dah jadi bocah."
"Nggak, ini gak sakit. Gue sama sekali gak ngerasain perih atau apa." Wajah Kara mengguratkan kecemasan yang berarti, khawatir jika terjadi sesuatu pada dirinya.
"Ya udah, gini aja. Kita ke UKS sekarang." Dilor menarik tangan Kara, namun Kara menyangkalnya. Gadis itu takut jika nanti di diagnosis menderita penyakit berbahaya.
Dilor pun menghembuskan nafas jengkel pada Kara yang berpikiran aneh-aneh bahkan terlalu Over thinking pada hal yang belum dia ketahui. Akhirnya Dilor menyeret Kara dengan sedikit Kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARA
ActionLilin di dalam kegelapan itu lebih berarti dibandingkan bintang di langit malam. Tangan lembut menyapu debu di ujung meja penuh gambaran serta goresan. Rambut coklat panjang yang tak lagi berdebu. Hadirnya yang kembali setelah keseratus kalinya purn...