Aku tetap memandangnya hingga Kak Defras tepat berdiri di depanku.
"Hai, Bell," sapanya.
Aku mendongak menatap wajahnya karena ia berdiri dekat sekali denganku. Selama beberapa detik aku sama sekali tidak dapat menjawab sapaan Kak Defras. Ku lihat Kak Defras tampak khawatir.
"Abell? Kamu sakit?" tanyanya. Astaga. Bahkan kesopanannya tak pantas untuk aku terima.
Aku berdeham. "Nggak kok, Kak," jawabku.
"Bener? Kamu keliatan pucat," tanyanya lagi.
"Yakin kok," jawabku berusaha tersenyum untuk menenangkannya.
Kak Defras menghela nafas lega. "Gimana? Kamu menikmati acaranya?"
"Iya. Selamat ulangtahun untuk Ayah Kak Defras, ya," kataku.
"Tadi aku lihat kamu ngobrol sama si Delila."
Ini bukan pertanyaan. Tapi aku sendiri juga tidak tau respon apa yang harus kuberikan ketika aku masih belum melupakan perkataan Delila. Jadi aku hanya menjawab sekenanya. "Iya tadi kita ngobrol sebentar. Terus..." aku berhenti berbicara untuk mencari Delila. "Dia jalan ke sana," lanjutku sambil menunjuk Delila dengan tangan kiriku. Selesai menjawab aku kembali menoleh menghadap Kak Defras. Bukannya mengikuti arah pandangku, tapi ia malah menunduk memandang sesuatu sambil tersenyum. "Lihat apa, Kak?" tanyaku ikut menunduk apa yang dilihatnya.
Kak Defras meraih tangan kiriku dan memandang jam tangan putih pemberian darinya dari dekat. Aku kaget dengan sentuhan kulitnya yang meraih pergelangan tangan kiriku. Ada sengatan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku. Aku juga melihat betapa manis senyumnya. Kemudian Kak Defras mengangkat kepalanya memandangku. "Makasih ya udah di pakai jamnya," katanya.
"Sama-sama, Kak," jawabku sambil tersenyum salah tingkah. Ikut berbahagia mengetahui perasaan senang yang ia rasakan.
Lalu kami berbincang ringan. Sedikit membuatku lupa akan kekhawatiran sebelumnya. Sebenarnya aku tak boleh seperti ini, tapi entah mengapa Kak Defras seperti sihir yang dengan mudahnya mengalihkan perhatianku dan terhanyut akan ucapannya. Ku lihat dari kejauhan orang-orang semakin menikmati suasana pesta. Membuatku menoleh dan memandang dari kejauhan. Suasana pesta seperti inilah yang membuatku tidak nyaman. Rasanya menyesakkan. Aku mencoba mencari keberadaan Ayah. Hingga akhirnya aku menemukan beliau berada di dalam bangunan sebelumnya. Kulihat Ayah asyik berbincang dengan Om Leo di dekat jendela.
"Oh, sebentar lagi Big King perform," gumam Kak Defras sambil memandang ke arah lain.
Mendengar suaranya membuatku menoleh ke arahnya. Big King? Aku mengikuti arah pandang Kak Defras yang tengah memandang sisi panggung. Ku lihat anggota Big King sudah berganti pakaian panggung. Sebelumnya mereka mengenakan jas hitam untuk acara formal. Suasana semakin memanas saat pembawa acara mengatakan bahwa Big King akan tampil setelah kembang api di luncurkan. Para undangan berteriak dan mendekat menuju panggung.
"Lihat juga yuk," ajak Kak Defras.
Belum sempat aku menolaknya, Kak Defras sudah meraih tanganku dan menyeretku menuju kerumunan dekat panggung. Kurasakan tangan besarnya menggenggam tanganku yang mungil. Rasa hangat dalam genggaman tangannya membuatku nyaman dan... aman. Tanpa sadar aku sudah berada di tengah kerumunan orang-orang yang sedang menunggu munculnya kembang api. Pandanganku tak lepas dari Kak Defras yang terus memandang langit sembari menggenggam tanganku. Tapi kenyamanan itu tak berlangsung lama karena kembang api mulai diluncurkan satu persatu. Aku tersentak kaget dan memandang langit yang dipenuhi dengan taburan warna-warni kembang api. Kilauan cahayanya terlalu terang untukku. Aku menunduk. Kurasakan orang-orang semakin mendekat untuk merekam kembang api. Nafasku mulai memburu dan melihat sekeliling dengan panik. Sesak dan kepalaku mulai pening. Aku harus segera keluar kerumunan, batinku. Tanpa pikir panjang aku melepaskan tanganku dari genggaman Kak Defras dan mulai mencari celah untuk menjauh dari kerumunan. Aku kesusahan mencari celah karena mereka terus saling mendorong.
Nafasku tersengal-sengal dan pandanganku mulai kabur. Entah sudah berapa jauh aku berjalan, tapi sepertinya aku cukup jauh dari keramaian karena aku sama sekali tidak melihat lampu berkelap-kelip lagi yang menghiasi pepohonan. Aku terus berjalan perlahan dengan gontai. Lalu tiba-tiba aku terjatuh dengan keras di atas rumput. Membuat pening yang kurasakan semakin menjadi. Sepertinya aku menabrak sesuatu atau seseorang. Aku mendesah dan memejamkan mataku rapat-rapat dengan nafasku yang masih tersengal-sengal.
"Duh, elo nggak apa-apa?"
Aku mendongak mendengar suara tersebut yang begitu dalam. Aku tidak dapat melihatnya dengan jelas karena ia membelakangi lampu taman. Ia berjongkok dan memegang sikuku. Mencoba membantuku berdiri. Ia berhasil mendudukkanku di kursi taman.
"Gue panggil orang dulu ya?" katanya hendak meninggalkanku.
Tapi dengan cepatnya aku menahan tangannya yang terlapisi jaket kulit hitam dengan erat. Tanpa sadar aku mulai menitikkan air mataku. Aku menunduk sambil menekan dadaku yang terasa sesak sekali. Aku tak pernah merasa sesesak ini sejak lima tahun yang lalu. Aku takut hal buruk akan terjadi. Aku merasakan tepukan halus di punggungku. Langsung saja aku teringat Johan yang selalu mencoba menenangkanku dengan cara menepuk halus punggungku dan mengingatkanku untuk bernafas perlahan melalui hidung dan menghembuskannya melalui mulutku. Setelah aku bernafas cukup stabil, aku mendengar suara gaduh dari kejauhan. Aku menoleh dan melihat beberapa orang melambaikan tangan kepadaku untuk segera mendekat kepadanya. Tiba-tiba saja jaket hitam tersampir di kedua bahuku.
Oh. Aku teringat laki-laki yang menolongku. Aku melihatnya yang kini tengah berdiri dan menjawab pertanyaan orang-orang yang ternyata melambai kepadanya. Ia lalu menunduk menatapku. Aku tak dapat melihat wajahnya karena sebagian wajahnya tertutup oleh masker hitam. Tapi aku dapat merasakan bahwa dirinya tersenyum kepadaku dari sorot matanya yang bermanik coklat gelap. Ia menyejajarkan wajahnya padaku lalu memegang bahuku.
"Gue nggak tau elo siapa. Tapi gue harap elo segera membaik. Gue bakal panggil orang buat ngecek keadaan elo. Abis itu gue bakal nemuin lo lagi," pesannya lalu berlari meninggalkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Life is My Secret - IMiaw
RomanceAku bersyukur dapat menikmati hidup yang sebelumnya tak pernah aku bayangkan. Aku berada di keluarga yang sangat mengasihiku. Segala kebutuhanku terpenuhi dengan baik. Hingga terbentuklah diriku yang sebenarnya bukan diriku. Kehidupanku semakin rumi...