Raka baru saja pulang dari sekolahnya ketika ia melihat mobil yang ia kenal betul milik teman orang tuanya—siapa lagi kalau bukan mobil Tante Wanda dan Om Prama—telah terparkir didepan rumahnya. Ia lelah, sungguh. Ia hanya ingin lekas naik ke kamarnya dan merbahkan tubuhnya.
Maka tanpa mempedulikan sekeliling, ia berjalan masuk, mengucapkan salam pada empat orang—termasuk orang tuanya—yang sedang mengobrol di ruang tamu, dan berniat naik ke kamarnya di lantai dua sebelum Mamanya memanggil.
"Kak, kesini sebentar, Mama mau ngomong."
Raka menoleh, dilihatnya empat pasang mata itu sedang memperhatikannya. Hanya perasaannya saja atau mereka memang sedang serius sekali membahas sesuatu? Tidak biasanya mereka begini.
Raka mendekat, "Kenapa, Ma?"
Mamanya memegang bahunya, menyejajarkan wajahnya dengan wajah Raka, menatap Raka tepat pada manik matanya.
"Kamu lihat anak perempuan yang duduk di ayunan depan rumah kita itu?" Ujar Mamanya sembari menunjuk ke arah jendela ruang tamunya. Dari tempat Raka berdiri nampak seorang gadis kecil yang sedang duduk di ayunan depan rumahnya seorang diri, sambil menunduk.
Raka menautkan alisnya heran. Sejak kapan dia disana?
Tapi hanya beberapa saat, sebelum pemuda enam belas tahun itu mengangguk."Namanya Gea, anaknya Tante Wanda dan Om Prama. Mulai sekarang kamu dan adik kamu akan jadi temannya. Dia sudah melewati banyak hal buruk dan banyak menangis, sayang. Sekarang kamu temui dia ya? Ajak dia kenalan, perlakukan dan jaga dia seperti yang kamu lakukan pada Bella ya, kak? Anak Mama ini kan kakak yang baik. Oke?" Ujar Mamanya, sambil tersenyum pada putranya.
"Nanti mama jelaskan sisanya."Raka bergeming ditempatnya, menerawang keluar kaca jendela sambil berpikir. Setahunya, Tante Wanda memang sempat hampir punya anak. Hanya hampir, hingga tante baik hati itu keguguran. Setelahnya, Tante Wanda sudah tidak bisa mengandung lagi, karena penyebab yang tak begitu ia pahami. Jadi hanya ada satu kemungkinan bila anak perempuan didepan sana adalah putrinya, anak itu diadopsi oleh Tante Wanda.
Seolah memahami pikiran Raka, Mamanya berujar lagi,
"Iya, kak. Dia diadopsi sama Tante Wanda. Jadi dia perlu beradaptasi dengan lingkungan barunya. Kamu dan Bella pasti bisa bantu dia, supaya dia nggak murung lagi dan bisa ceria kayak adik kamu. Mereka seumuran. Nanti kalau Bella sudah pulang dari rumah Nina, Mama juga akan kenalkan Gea sama Bella."
Raka berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Ia membagi tatapanya pada Mamanya dan tiga orang lain yang duduk disana. Meski masih tak begitu mengerti keadaannya, tapi Raka adalah Raka. Ia pada akhirnya menurut saja. Tas sekolahnya ia letakkan pada kursi kosong disana yang tersisa, dan mulai berjalan keluar, lupa dengan niatnya merebahkan diri di kamarnya.
Dua buah ayunan tempat Raka dan Bella—adiknya—biasa bermain sejak mereka masih kecil itu menghadap ke jalan depan rumahnya, sehingga ketika ia berjalan dari ruang tamu yang tampak olehnya hanya rambut hitam panjang gadis itu yang tergerai menutupi bahu dan punggung kecilnya. Berbeda jauh dari adiknya yang bertubuh lebih berisi—gembul, kata orang-orang—gadis ini kurus dan terlihat ringkih. Tangannya menggenggam besi pancang ayunan dan kepalanya ia sandarkan pada genggaman tangan kanannya sembari menunduk. Raka nyaris mengira dia sedang tidur jika saja kakinya tak sesekali bergerak.
Dihampirinya gadis kecil itu dan duduk perlahan pada ayunan disebelahnya lantas berujar pelan,
"Hei. Aku Raka." Katanya sembari mengulurkan tangan dan tersenyum lembut.
Gadis itu mendongak menatap Raka, sesaat membagi tatapannya pada wajah dan tangan Raka yang terulur. Setelahnya gadis itu mengulurkan tangannya, menjabat tangan Raka ragu-ragu.
YOU ARE READING
Eglantine
Teen FictionKarena pada dasarnya, Raka itu cinta pertamanya. Meski ia sadar Raka tak akan pernah tergapai olehnya, meski ia tahu bahwa Raka hanya akan hidup dalam angan dan mimpinya tentang seorang pria yang ia kira, akan sempurna untuk hidupnya kalau saja Raka...