Turun dari lorong tempat kamar-kamar tidur tavern berada, langkah Brendan terhenti. Di salah satu meja area makan, Alman masih duduk menikmati sarapannya. Ragu-ragu pemuda itu merunduk, mencoba mengamati dari posisinya di tangga.
Dengan santai, Alman mencabik roti gandum di tangannya lalu mencelupkan pada sup kental sebelum dia suapkan ke mulut. Sesekali dihirupnya kopi susu di cangkir. Terlihat seperti keseharian Alman yang biasa.
Apakah akses kendali kota yang dia peroleh kemarin sudah dikembalikan, Brendan bertanya-tanya dalam hati.
"Ucapan: Selamat Pagi ... pada ... Individu: Druid Brendan!"
Brendan nyaris melompat dari tangga, saking terkejutnya. Terlalu asyik mengamati Alman, dia tak sadar alah satu tuas bercapit sudah bergerak sangat dekat dengan tempatnya bersembunyi. Masih terkaget-kaget, dia memutuskan untuk sekalian turun saja. Toh ... sapaan itu memberi tahu posisinya pada Alman.
"Pagi, Wings!" Alman bergumam sebelum menyuapkan cabikan roti gandumnya lagi.
"P-pagi."
Brendan mengambil jatah sarapannya lalu mengambil tempat di meja, seberang Alman. Mencoba untuk tidak bertingkah berbeda dengan biasanya, walau sesungguhnya dia masih penasaran dengan status Alman terhadap kota ajaib saat ini.
"Sihirmu kemarin luar biasa, lho ... Tak kusangka kau bisa memanggil pusaran air dan angin sedahsyat itu tanpa bantuan tongkatmu," puji Alman.
Padahal tidak ada nada mencela dalam ucapannya, tetapi Brendan merasakan nuansa sarkasme.
"Kontrolnya agak kacau, memang ... Tongkat sampai terpelanting kejauhan? Wah ... Apa yang terjadi kalau kau mendapatkan tongkatmu lebih cepat, di tempat yang tak terlalu jauh dari kota, ya?"
"R-red!" Brendan akhirnya memberanikan diri. "... Apa kau masih marah?"
Alman menyeruput habis kopinya, meletakkan kembali cangkir di meja, melap mulutnya dengan serbet, lalu menatap lurus pada rekannya. Jari-jarinya bertaut.
"Menurutmu?"
Sikapnya tenang dan teratur. Mengerikan. Rasanya Brendan lebih suka bila Alman berteriak dan marah-marah secara langsung kepadanya seperti sebelum-sebelum ini. Setidaknya Brendan akan langsung paham apa yang membuatnya marah dan bisa segera memperbaiki diri.
"A-a-aku memang sudah melakukan kesalahan ... Tanpa tahu betul masalahnya, me-memaksakan logikaku pada- ...."
"Yak, stop sampai di situ!" potong Alman. "Aku juga salah karena tidak segera menjelaskan padamu benda macam apa yang kita tangani kemarin. Bisa dibilang, karena tugasnya cukup mudah, aku terburu-buru berusaha mendapatkan kembali batu biruku."
"U-umm ... Lalu, apakah batu biru itu ...?"
"Aku sudah tahu di mana kota ini menyimpannya."
"Karena akses yang kau dapat kemarin, ya?"
Alman tidak menjawab. Ekspresinya tetap tenang. Bahkan terlalu tenang—nyaris datar. Brendan menyendok sarapannya, untuk mengurangi rasa canggung.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan hari ini, Red?" tanya Brendan setelah menelan beberapa suapan.
"Sesukamu saja," jawab Alman, terdengar asal-asalan seraya meraih kertas dan pena, menulis sesuatu. "Membaca atau berjalan-jalan. Tidur seharian di kamarmu juga boleh."
"Apa maksudnya itu?!" protes Brendan, nyaris mendorong meja. "Lalu bagaimana dengan hukumanmu ... Hukumanku?"
"Tidak ada lagi hukuman."
Brendan baru akan menyuarakan kebingungannya, ketika Alman menyusupkan kertas yang baru saja dia tulisi ke dekat piringnya. Kertas itu terlipat. Tulisannya tertutup.
Dengan kening berkerut Brendan meraihnya. Sebelum sempat membuka lipatan, dia melirik pada Alman yang menyimpan pena dengan rapih ke tempatnya semula, kemudian kembali ke posisi duduk yang nyaris sempurna. Gerak-gerik yang sangat tidak seperti Alman yang dia kenal.
Menelan ludah, Brendan menggunakan jemari sebelah tangannya untuk membuka lipatan kertas. Hanya sepintas. Sikap aneh Alman membuat pemuda itu berusaha tidak terlalu kentara saat membaca tulisan yang ada.
"...Apa ini?" gumam Brendan setelah membaca. Semakin bingung.
"Anggap saja ... teka-teki. Kalau kau bisa menjawab, mungkin kau bisa mendapatkan privasi, walau hanya sesaat."
Brendan membaca ulang tulisan di kertas.
Petir apakah yang menyambar hangus para lebah raksasa di kaki bukit ikan?
Tentu saja Brendan tahu jawabannya. Itu adalah saat pertama Alman memuji mantranya, sekaligus mewanti-wanti untuk tidak menggunakannya lagi saat ada orang di sekelilingnya karena bisa ikut tersambar. Kening pemuda bertelinga sayap itu kembali berkerut.
"Apa tak masalah?" tanyanya ragu.
"Lakukan saja ..." Alman menyunggingkan senyum lebar yang Brendan kenal dengan baik. "... Dengan sekuat tenaga, Wings!"
Pemuda Avian itu segera menyambar tongkat yang tersandar di sebelah mejanya. Dalam sekejap dia mengumpulkan sihir sebanyak yang dia mampu ke batu hijau di tongkatnya.
Apa yang dia lakukan segera menimbulkan reaksi tuas-tuas berbatu biru di sekeliling mereka. Beberapa yang terdekat, sudah meluncur ke arahnya, bermaksud menghentikan. Namun terlambat, mantra Brendan sudah selesai. Lusinan petir yang terpanggil oleh mantranya menyambar bertubi-tubi ke radius 3 hingga 5 meter di sekeliling tempat dia duduk.
Setelah beberapa detik, hujan petir yang memekakkan telinga itu usai. Menyisakan pola hangus di berbagai tempat. Untuk sesaat sekeliling Brendan menjadi sunyi.
"Hebat juga. Mantramu tadi bahkan lebih dahsyat dari yang di melumpuhkan para lebah itu, Wings!"
Brendan mendongak pada Alman yang melompat turun dari lantai atas Tavern.
"Nah, sebelum para tuas menyebalkan itu kembali ...," Alman mengambil tempat di satu-satunya kursi lain yang selamat dari sambaran petir. "...kita bisa berbicara lebih serius!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Adventures of Wings and Red
AdventureDua orang dengan kepribadian dan pola pikir yang jauh berbeda, bertemu secara tak sengaja akibat pusaran waktu dan dimensi yang kacau. Untuk bisa pulang ke tempat orang-orang yang mereka sayangi, keduanya harus bekerjasama, tetapi sebelumnya mereka...