3. Puzzles

2.8K 408 28
                                    

Ini hari senin, kami semua sudah siap untuk mengikuti upacara. Aku, Irene, Sonia dan Hazel. Kebetulan berada di bagian belakang.

Mereka memang selalu berdiri tidak jauh dariku. "Si Arjuna itu ganteng juga ya?"

Irene berkata, ia melirik ke arah lelaki aneh yang beberapa hari yang lalu aku siram.

Dia dan temannya, saat ini sedang berada dipaling ujung. Sangat jauh jaraknya denganku. Kalau dilihat lagi, kelima laki-laki ini tidak pernah terlihat bercanda dengan yang lainnya.

Mereka selalu serius, dengan tatapan tajamnya yang dalam. Ah, si Arjuna itu, dia melirik padaku. Membuatku segera mengalihkan tatapanku ke arah lain dengan takut.

Jangan tanyakan bagaimana jantungku. Rasanya seperti akan loncat, kala mata tajam itu mengarah padaku.

"Dia itu parah banget, masa iya gue gak pernah liat dia senyum," tambah Hazel, "Coba aja, dia senyum. Pasti para cewek bakal liat dia dengan sudut yang lain. Gak kaya liat hantu deh, kesannya."

Aku masih mengalihkan tatapanku pada yang lain. Percayalah, aku masih merasakan tatapan dalam itu. Seolah lelaki itu  tahu kalu kami sedang membicarakannya.

"Gue pernah denger dari temen sekelasnya. Kalau gak salah, namanya Irhen. Dia bilang, kelima lelaki itu tidak pernah mendapatkan nilai dibawah sembilan, setiap pelajaran. Dan wali kelas mereka sampe bingung, nentuin siapa yang peringkat pertama, diantara kelima lelaki itu."

Aku menelan salivaku, nilai pelajaranku rata - rata enam. Pokoknya cukup deh, yang penting bisa lulus. Itu saja sudah mending, dengan otaku yang pas-pasan ini. Aku belajar semalaman pun, malah hasilnya tetap sama.

"Ta, lo mau ikut ke rumahnya si Rizki gak? pulang sekolah. Dia mau masak - masak katanya," Irene mencolek pundaku.

"Kita liat aja nanti, soalnya gue ada yang mau dilakuin," jawabku, dengan menatap langit di sana. Sepertinya matahari mulai mendung.

Iya, di sana gelap. Tapi bukan awan yang memayungi. Seekor elang raksasa itu. Iya, dia ...

Aku melirik ke kanan - kiriku, kalau elang raksasa itu ada. Berarti mereka juga akan melihatnya.

Aku menyenggol Irene. "Lo liat langit deh,"

Irene menengadah. "Langitnya kenapa?"

"Lo yakin gak liat apa-apa?"

Irene terlihat menatapnya lebih lekat. "Awannya tebal, kayanya bakal hujan."

Ok, ini yang aneh sepertinya mataku. Aku lebih sering delusional akhir-akhir ini. Apakah aku harus pergi ke Dokter mental?

Aku melirik lelaki itu, dan dia masih saja menatapku. Kali ini dengan sebuah senyuman. Aku tidak tahu kenapa ia tersenyum sedemikian menawannya.

Hingga kedua kaki dan tanganku gemetar melihatnya.

Semakin lama aku melihatnya, aku semakin yakin pada kedua mata itu. Mata gelap dan menawan itu pernah aku lihat sebelumnya.

Tapi di mana?

Dan kapan?

Kali ini senyumannya perlahan pudar, tergantikan dengan tatapan teduh yang aku sendiri tidak tahu apa artinya.

Yang jelas ...

Aku cemas,

Dengan diriku,

Dan perasaanku.

***


Izinkan aku
Untuk terakhir kalinya

The Eagle (Dream)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang