Berbekal informasi dan pengalaman pekerjaan, tidak perlu waktu lama untukku menganggur. Aku hanya perlu tiga bulan untuk menjadi seorang pengangguran. Setelah beberapa kali melewati tes, akhirnya aku resmi bekerja di sekolah menengah kejuruan swasta yang cukup dikenal.
Yap! Aku jadi guru.
Rasanya, aku ingin tertawa terbahak-bahak. Apa aku cocok jadi guru? Apa aku bisa mengajar anak-anak usia labil? Aku jadi guru termuda di sekolah itu, nanti kalau aku ditaksir banyak siswa atau siswi gimanaaa? Mana aku good looking, charming, semriwing begini lagi. Duh.
Karena background pendidikan sarjanaku dibidang broadcasting jadi aku diberi mandat untuk mengajar pelajaran manajemen produksi siaran dan dasar seni audio-visual untuk kelas 12 dan 11. Sedangkan untuk kelas 10-nya, aku mengajar creative thinking. Selain itu, nantinya aku juga akan diberi mandat untuk menemani Pak Sony mengelola ekstrakulikuler film.
Pak Sony ini usianya 30 tahun, dan dia masih single. Pak Sony sering banget dijadikan bahan gosip dikalangan sekolah karena dia masih nyaman sendiri diusianya yang terbilang sudah "matang". Menurut dari kabar yang berhembus, katanya, Pak Sony itu gay.
Sialnya, nyinyir itu sudah menjadi sebuah tren--habbit--dikalangan manusia. Pokoknya, kalau ada yang sekiranya "berbeda" pasti akan kena nyinyir. Contohnya, kalau masih single diusia "matang", nanti bakal kena cap "tidak laku" atau malah dikira homoseksual. Itu sudah paten, jangan heran.
Baiklah, lupakan tentang Pak Sony, biarkan dia mau gay atau tidak, bukan urusanku. Balik lagi ke kehidupanku. Dari dulu aku selalu bermimpi untuk menjadi dosen, bukan guru. Tapi karena pendidikan terakhirku bukan S2, jadi yasudah, guru ataupun dosen sama saja--sama-sama mengajar kok. Cuma berbeda dinominal gaji dan privilege-nya saja. Eh.
Sekolah kejuruan tempat aku mengabdi ini dibawah naungan Yayasan Berbudi yang berpusat di Semarang. Sekolah-sekolah dibawah Yayasan Berbudi yang ada di Semarang itu terkenal mahal dan elite. Tapi khusus untuk SMKS Berbudi--tempat aku mengajar--biaya sekolahnya tidak semahal yang ada di Semarang. Meskipun biaya sekolahnya murah, tapi kualitas pendidikan dan fasilitas yang didapatkan hampir sama dengan yang ada di Semarang. Begitu juga dengan peraturan yang diberlakukan. Murah bukan berarti murahan.
Di SMKS Berbudi ini ada 5 jurusan, yaitu; Administrasi Perkantoran, Akuntansi, Marketing, Pariwisata dan Broadcasting. Untuk jurusan Broadcasting, kelasnya hanya ada satu. Jadi tidak heran kalau jumlah muridnya paling sedikit dari jurusan-jurusan yang lainnya. Di jurusan lain, jumlah kelasnya bisa sampai 3, dari kelas A-C.
÷≡÷
Kuakui, menjadi seorang guru itu penuh tantangan. Kita dituntut untuk selalu sempurna, setidaknya dalam bertutur kata dan berperilaku, agar mencerminkan seorang panutan. Untukku yang sedikit rebel, sulit untukku menjadi diri sendiri ketika berada di lingkungan sekolah. Aku harus benar-benar menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah. Aku jadi seperti memiliki 2 kehidupan.
Tapi sejauh ini, aku suka menjadi guru. Aku suka bertemu dengan anak-anak remaja labil yang kadang tidak tahu sopan santun. Nggak ada ahklak, kalau kata orang sekarang mah. Karakteristik mereka yang berbeda-beda yang membuat aku betah menjadi seorang guru.
Tidak terasa sudah hampir dua bulan aku mengajar di SMKS Berbudi. Anak-anak didikku sudah mulai terbiasa dengan jokes-jokes garingku. Entah bagaimana ini dimulai, tetapi aku sudah dinobatkan menjadi guru terfavorit dikalangan anak kelas 3. Banyak sekali anak-anak yang pingin aku ajar. Padahal mereka itu beda jurusan. Coba gimana jadinya kalau aku disuruh mengajar di kelas Akuntansi--yang mana aku sangat membenci hitung-menghitung? Apa tidak gundul ini rambutku?
"Miss Kama, bisa bicara sebentar?"
Baru saja aku berdiri hendak keluar kelas untuk kembali ke ruang guru, tiba-tiba Ruri datang dan menghentikan langkahku. Melihat kehadirannya, aku hanya bisa menghela nafas. Bocah ini lagi.
Sebelum terlalu jauh, mari aku perkenalkan satu anak didikku yang terlalu frontal dan bikin aku gedeg.
Namanya Ruri. Aku tidak tahu mengapa dia bisa sefrontal itu padaku, aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Pokoknya, aku gedeg dan masih tidak habis pikir. Tiga kali aku mengajar di kelas Ruri, keempat kalinya, sewaktu pergantian pelajaran, perempuan itu menemui aku dan memberiku coklat. Katanya agar aku tidak badmood.
Awalnya aku biasa saja, kupikir dia memang berniat baik. Lama kelamaan, dia makin berani, dia mengirimi aku pesan. Dia bilang kalau dia suka sama aku. Sebagai anak muda--usiaku masih 24 tahun, btw--jiwa mudaku tercengang. Like, what the hell? Baru ini aku tahu ada anak didik yang sebegini frontalnya.
Waktu awal-awal masuk aku memang menuliskan nomorku di papan tulis, maksudku, biar kalau mereka ada pertanyaan seputar tugas bisa langsung kontak aku. Tapi tidak kusangka, ada satu manusia berjenis kelamin perempuan yang menyalahgunakan nomorku.
Heran aku. Aku masih tidak habis pikir. Kan jelas-jelas dia tahu aku ini perempuan, dan dia juga perempuan. Masa dia seberani ini? Apa dia menangkap gaydar-ku? Masa sih gaydar-ku sekuat itu? Tapi dia anak didikku! Forgodshake!
"Mau membicarakan apa? Saya nggak bisa lama-lama, ya."
"Iya, Miss. Cuma bentar kok."
Aku kembali masuk ke dalam kelas, dan mengambil duduk di kursi yang dekat dengan pintu. Sedangkan Ruri berdiri di depan meja. Untung saja meja itu memisahkan jarak diantara kami.
"Jadi, kenapa?"
Ruri terlihat gugup, dia berdehem sebelum akhirnya membuka mulutnya.
"Kenapa pesan singkat saya selasa malam kemarin tidak dibalas, Miss? Saya nungguin loh."
Seriusan, dia cuma mau bahas ini? Ya memangnya aku harus balas apa coba? Dia anak didikku, loh.
Aku menghela nafas, sebisa mungkin mengeluarkan intonasi suara yang tidak meninggi.
"Ruri, sebelumnya saya mau minta maaf karena nggak balas pesanmu. Tapi kamu tahu kan kalau saya ini gurumu? Tanpa perlu saya jawabpun, seharusnya kamu sudah tahu jawabannya, kan?"
Ruri menggeleng, dengan tegas dia berkata. "Saya tidak tahu jawabannya, Miss. Tolong dijawab."
Oh, demi SpongeBob yang cinta mati sama Squidward, itu bukan jawaban yang ingin aku dengar! Rasanya saat ini aku ingin lenyap saja. Rasanya aku ingin undo my mistake. Apa aku mengajar di sekolah ini adalah sebuah kesalahan?
"Apa, Miss?"
Aku menghela nafas, berdiri dari dudukku. Kurapikan blouse-ku. Kudekati Ruri, kusentuh pundaknya dengan tangan kiriku.
"Jawabannya, kamu tidak boleh mendekati saya. Saya ini gurumu. Tidak baik seorang murid mengencani gurunya. Paham, ya?"
Sebisa mungkin aku mengatakan itu dengan intonasi yang lembut, agar tidak menyakiti perasaannya. Bagaimanapun juga, aku adalah seorang guru. Tidak mungkin aku dengan muridku. Usiaku 24 tahun, sedangkan Ruri? Pasti masih 17 tahun. Terlalu banyak jarak usia diantara kami. Dan aku ini gurunya. Dia muridku. Tidak mungkin. Tidak cocok.
≡÷÷÷≡
Pergi ke taman ambil setanggi,
tangan kiri genggam gagang belati.
Rindu datang tak kenal hari,
membuat berdebar jantung di hati.
![](https://img.wattpad.com/cover/207574118-288-k55648.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
in-between
RomanceMengapa cinta dan luka diciptakan? Mengapa cinta dan luka sama halnya seperti pertemuan dan perpisahan? Mengapa mereka harus berpasangan? Tidak bolehkah mereka dipisahkan? Cerita ini adalah tentang aku, kamu, dia dan mereka. Serta tentang rasa dan...